Pages

Minggu, 12 Juni 2011

Warna-Warni Konsep Hukum Islam dan Negara


Penulis : Muhyar Fanani

Cetakan : I, 2008

Tebal : xxxiv + 422 halaman

Ukuran : 14 x 21 cm

Ketika membaca beberapa tulisan karya Dr. Muhyar Fanani, terutama yang bertema ushul fikih, pasti akan terasa nuansa Syahrur di dalamnya. Syahrur adalah pemikir ushul fikih kontemporer yang dikenal memiliki konsep pembaruan yang revolusiuner dan inovatif dibanding pemikir lainnya. Juga karena syahrur telah menghadirkan paradigma baru dalam pemikiran ushul fikih kontemporer. Latar belakang pendidikannya sebagai insinyur sipil, serta doktor di bidang mekanika tanah dan teknik bangunan tidak menyurutkanya untuk melakukan studi keIslaman. Pemikiran-pemikirannya yang lain dari yang lain pun mengakibatkan pro dan kontra. Walaupun begitu, Muhyar Fanani dalam hal ini bisa dikatakan salah satu penggemar Syahrur.

Indonesia adalah Negara yang mempunyai warga Negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar nomor satu di dunia. Tetapi walaupun begitu Negara ini adalah Negara multi kultural. Di dalamnya ada berbagai macam kelompok masyarakat dengan beragam suku, ras, budaya, agama, dan kebiasaan. Pada tatanan sebelumnya, umat Islam menjadikan ikatan keimanan sebagai faktor utama perekat sosial. Asumsi dasarnya adalah, masyarakat yang disatukan melalui ikatan iman relatif tidak akan menemui kesulitan untuk melaksanakan hukum bagi mereka, yaitu hukum Islam. Itu dikarenakan setiap anggota masyarakat memiliki tekad dan kesadaran yang sama. Sementara itu, dalam tatanan nagara-bangsa atau nation-state, yang di dalamnya tinggal berbagai masyarakat yang bukan hanya agama tetapi dalam hal sosio-kurtural dan keadaan masyarakatnya juga berbeda, ikatan sosial lebih didasarkan pada kesamaan sejarah, nasib, suku, dan kesatuan wilayah. Jadi, agama –termasuk hukumnya- tidak lagi menjadi faktor penentu bagi terwujudnya koheksi sosial. Lalu, bagaimana umat Islam dapat melaksanakan hukum Islam?

Dr. Muhyar Fanani hadir dengan Buku berjudul “Membumikan Hukum Langit”, mencoba manawarkan gagasan penerapan hukum Islam dalam suatu Negara-bangsa, yang dalam hal ini konteksnya adalah di Negara Indonesia. Muhyar fanani menghadirkan dua gagasan dalam memberi solusi penerapan pelaksanaan hukum Islam agar tidak bertentangan dengan konstitusi yang berlaku di Negara ini, sekaligus tidak menghilangkan ruh Islami. Gagasan itu adalah Nasionalisasi hukum Islam yang digagas oleh Abdullahi Ahmed an-Na’im dan Islamisasi Hukum Nasional yang ditawarkan Muhammad Syahrur.

Ahmed an- Na’im muncul dengan konsep Nasionalisasi hukum Islam. Baginya, hukum Islam harus direkontruksi total agar bisa selaras dengan modernitas, tentunya dengan tidak melepaskan keislaman hukum tersebut. An-na’im meneruskan pemikiran gurunya, Mahmoud Muhammad Taha yang berpendapat tentang terhapusnya ayat Madaniah oleh ayat Makiyyah.

Pada zaman nabi dahulu, setelah ayat-ayat madaniyah turun, ayat-ayat Makiyyah seolah tidak diperlukan lagi. Itu karena ayat-ayat Makiyyah belum bisa diterapakn pada masyarakat Arab pada saat itu. Dan telah dimaklumi bahwa ayat Makiyyah adalah ayat yang lebih universal dan abadi karena di dalamnya banyak ayat mutasyabih yang multi-tafsir sehingga apabila diterapkan pada saat ini, ayat-ayat Makiyyah bisa relevan dengan kondisi masyarakat abad ke-20 yang sangat beragam corak masyarakatnya. Dengan demikian jelaslah menurut Taha bahwa ayat Makiyyah adalah ayat sentral al-Qur’an. Ayat inilah yang akan mampu memberikan kebebasan yang sebenarnya dan kesamarataan yang sungguh-sungguh bagi semua umat manusia tanpa memandang perbedaan jenis kelamin, agama, dan keyakinan sehingga toleransi dapat di junjung tinggi oleh semua.

Alasan an-na’im menyetujui Taha akan pentingnya ayat Makkiyah dan perlu diabaikannya ayat-ayat Madaniyyah adalah bahwa: pertama, pesan Makah adalah pesan abadi dan fundamental yang menginginkan egalitarianism seluruh umat manusia. Karena pesan Makkah ini belum siap diterapkan oleh manusia pada abad ke-7 M, maka Allah menurunkan pesan Madinah yang lebih sesuai dengan kondisi zaman waktu itu. Kedua, aspek pesan Makkah adalah abadi. Haya saja karena alasan kondisi zaman, pesan yang abadi itu ditunda pelaksanaannya. Ketiga, pemberlakuan teori naskh lama itu tidak permanen. Karena kalau permanen, berarti umat manusia menolak sebagian dari agamanya yang sholih li kulli zaman wa makan.

Konsep ini sebenarnya konsep yang brilian, tetapi oleh sebagian orang hal itu dianggap utopia yang tidak bisa diwujudkan kapanpun dan dimanapun karena pada esensinya hukum Islam dan Nasional sangat berbeda dan sulit untuk menyatukannya.

Konsep kedua yang diusung Muhyar Fanani dalam buku ini adalah Islamisasi hukum Nasional oleh Muhammad Syahrur. Ada tiga kunci relevansi pemikiran Syahrur dalam masalah hukum: redevinisi dalam rangka positivasi, demokratisasi, dan vitalisasi aparat penegak hukum. Redefinisi syahrur merupakan upaya meluluskan usaha positivisasi hukum Islam dalam stuktur Negara-bangsa. Syahrur melihat, potivisasi tanpa redevinisi hanya akan melahirkan kegagalan. Langkah positivisasi dan demokratisasi merupakan langkah menjadikan hukum Nasional. Dua langkah ini adalah solusi Syahrur ketika hukum Islam disatukan dengan sistem hukum Negara-bangsa. Penyatuan harus berjalan dalam mekanisme demokrasi. Bila mekanisme demokrasi dijalankan dalam memproduksi hukum, dengan demikian proses positivisasi berjalan, maka vitalisasi aparat penegak hukum menemui jalan mulus. Aparat tak canggung dengan hukum Islam karena tidak ada dikotomi hukum Islam dan hukum Nasional. Hukum Islam dengan sendirinya adalah hukum Nasional, sedangkan hukum nasional selama tidak menyalahi hudud Allah merupakan hukum Islam, walaupun diproduksi oleh parlemen, manusia biasa.

Bagi Islam sendiri, pemikiran syahrur akan menjadikan hukum Islam lebih mantap dalam menerima realitas keindonesiaan. Pemikiran itu memberi manfaat tersendiri, diantaanya: pertama, menjadikan hukum Islam menerima hukum Nasional sebagai bagian darinya. Kedua, mengakhiri konflik tiga hukum di Indonesia, hukum islam, hukum Nasional, dan hukum adat. Ini terjadi Karena redevinisi syahrur tidak menbedakan ketiganya. Ketiga, membantu hukum Islam agar bisa menyesuaikan diri dengan asas kebangsaan dan keindonesian. Keempat, demokratisasi hukum Islam. Kelima, menjadikan hukum Islam lebih responsive dan aspiratif.

Selain dua pemikiran itu, hizbut Tahrir Indonesia (HTI) juga hadir mewarnai wacana baru. HTI adalah pihak yang membuka wacana baru bentuk Negara dengan mensosialisasikan sistem khilafah ke masyarakat. Diskusi sistem khilafah ini berkembang mulai dari kelompok-kelompok kecil hingga konferensi internasional. Diskusi semacam ini secara tidak langsung ingin mempertanyakan demokrasi, karena Negara-bangsa merupakan salah satu pilar dari demokrasi. Sebenarnya sebagian dari HTI sedikit mengandung kebenaran walaupun argumentasi yang meraka gunakan, baik yang normative maupu historis tergolong lemah. Walaupun begitu, konsep mereka sangat tidak relevan apabila di gunakan di Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan agama.

Pada akhirnya, dalam konteks Indonesia modern, mempertanyakan antara Islam dan demokrasi sudah tidak relevan lagi. Begitu pula mempertentangakan antara hukum Islam dan Nasional. Islamisasi hukum nasional dalam buku ini adalah menyusun hukum Nasional yang tidak bertentangan dengan akal sehat, realtas kebangsaan-keindonesiaan, serta hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an. Dengan demikian, selama hukum Nasional diproduksi secara demokratis dan isinya selaras dengan ketiga hal itu, maka tidak ada alasan untuk tidak menganggap bahwa hukum nasional adalah hukum yang Islami.

Resensi ini adalah tulisan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fikih.,

2 komentar:

  1. Islam yang humanis memang harus diwujudkan

    BalasHapus
  2. pak Muhyar, si Mr. Story, hehehe

    BalasHapus

Kritik yang membangun: