
Judul : Banalitas Kekerasan, Telaah Pemikiran Hannah Arendt tentang Kekerasan Negara
Pengarang : Rieke Diah Pitaloka
Penerbit : Penerbit Koekoesan
Tebal : cover+xvi+134 hal.
Tahun terbit : Cetakan I, Desember 2010
Indonesia dulu pernah mengalami masa yang kelam. Ketika masih dipimpin oleh Soeharto di masa Orde Baru, disatu sisi memang ada banyak kemajuan yang dicapai. Tetapi di sisi yang lain, masyarakat diliputi kecekaman. Memang perasaan tercekam itu tidak bias dilihat secara kasat mata, tetapi bisa dirasakan ketika masyarakat pada masa itu tidak bisa berbuat “bebas” apabila tindakan itu berhubungan dengan pemerintah pada saat itu. Mereka hanya bisa sendiko dawuh pada pemerintah Soeharto. Ada sedikit saja perbedaan yang dilakukan, akan segera ada tindakan yang dilakukan pemerintah. Kejahatan yang dilakukan oleh rezim Soeharto yang diawali dengan peristiwa pembantaian tahun 1965-1966, yang oleh Robert Cribb dinyatakan sebagai salah satu peristiwa mengerikan yang terjadi pada abad ke-20, menjadi sejarah kelam yang ada di negara Indonesia.
Runtuhnya rezim Soeharto pada 1998, oleh sebagian orang mungkin merupakan suatu kebahagiaan tersendiri. Mereka merasa bahwa indonesia terbebas dari rezim totaliter yang sering menggunakan kekerasan dalam tindakan mereka. Tetapi harapan itu tidak menjadi kenyataan. Kekerasan masih juga terjadi. Yang dulu dilakukan oleh pemerintah, sekarang malah dilakukan oleh masyarakat. Mulai dari konfrontasi antara Muslim dan Kristiani di Maluku pada 1999 yang menewaskan sekitar 5000 jiwa, konflik antara suku Dayak dan Transmigran Madura, sampai kasus terbaru adalah kerusuhan di Temanggung dan juga berbagai teror bom, itu semua dilakukan oleh masyarakat.
Berdasarkan hal itu, Rieke Diah Pitaloka dalam bukunya yang berjudul Banalitas Kekerasan berusaha mengungkap berbagai penyebab adanya kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat sipil. Buku yang merupakan tesisnya di program pascasarjana Universitas Indonesia ini berusaha menjelaskan bagaimana kekerasan yang dilakukan masyarakat sipil yang ternyata berasal dari kedangkalan berpikir dan ketidak mampuan menilai secara kritis akibat adanya kekerasan yang dilakukan pemerintah yang totaliter. Hal ini terjadi karena masyarakat terkondisikan untuk menganggap kejahatan sebagai hal yang biasa, yang dalam istilah Hannah Arendt disebut sebagai banalitas kejahatan.
Buku ini secara garis besar menggunakan teori yang dikeluarkan oleh Hannah Arendt tentang Totalitarianisme dalam menanggapi fenomena kekerasan yang terjadi di negeri ini. Adanya berbagai kekerasan yang ada sejak dimulainya era reformasi disebabkan oleh pemerintah pada era Orde baru yang totaliter.
Dalam negara yang totaliter, pemerintah memasung kemampuan masyarakat untuk berpikir kritis. Mereka memaksakan ideologi mereka kepada rakyat sipil dan melakukan monopoli informasi, dengan alasan pemerintah lebih bisa memilih mana yang terbaik bagi masyarakat. Pemerintah yang totaliter juga menggunakan cara-cara diluar hukum untuk mengancam seluruh masyarakat agar tidak berani menanyakan kebijakan yang mereka keluarkan. Itulah ciri-ciri Negara totaliter yang dikemukakan Arendt. Sejarah membuktikan bahwa pada masa Soeharto hal seperti itulah yang dilakukan pemerintah.
Hannah Arendt dalam mengeluarkan teori banalitas kejahatan akibat pemerintahan yang totaliter tersebut berdasarkan fenomena yang terjadi pada Otto Adolf Eichmant. Ia adalah tokoh yang turut andil dalam pembantaian yahudi pada rezim Adolf Hitler. Eichmant yang sejak kecil terbentuk sebagai individu yang tidak pernah memutuskan segala sesuatu berdasarkan kehendak sendiri, akhirnya menjadi pribadi yang tidak bisa bersikap kritis dan tidak bisa menemukan solusi ketika mengalami kejenuhan. Ia pun akhirnya bergabung dengan Nazi karena kebutuhan mengatasi kejenuhan itu, bukan karena suatu kehendak yang ia sadari. Ia akhirnya terjebak dalam tirani logika. Ia hanya menganggap apa yang pemimpin lakukan adalah pendapat yang paling benar karena ideologinya yang tertutup.
Tetapi ada satu hal yang tidak ditulis oleh Rieke dalam penyebab banalitas kejahatan yang dilakukan rakyat sipil di Indonesia. Ia hanya menyebutkan bahwa penyebab banalitas tersebut adalah kesalahan pemerintah dahulu yang otoriter dan juga kesalahan individu itu sendiri yang belum bisa membuka pikirannya serta memiliki ideologi yang tertutup. Pejabat yang memerintah saat ini juga ikut andil menjadi penyebab banalitas tersebut. Pemerintah yang berkuasa seharusnya bisa mengontrol rakyat yang dipimipinnya. Tetapi fakta membuktikan bahwa aparat yang mempunyai tanggung jawab tersebut tidak bisa mengendalikan kerusuhan yang terjadi. Aparat polisi dalam tragedi Sampit, kerusuhan di Temanggung, dan berbagai kasus kekerasan masif yang dilakukan sekelompok masyarakat tidak bisa berbuat banyak, bahkan seolah hanya menjadi penonton dalam kekerasan yang dilakukan di depan mata.
Rieke sepertinya juga melakukan sedikit pemaksaan ketika menghubungkan apa yang terjadi pada Eichmant dengan kerusuhan yang dilakukan masyarakat di negeri ini. Bila dilihat itu adalah suatu yang berbeda karena kedudukan Eichmant saat itu adalah aparatur Negara di Negeri yang totaliter. Sedangkan apa yang menjadi bahasan buku ini berbeda karena objeknya adalah tipikal masyarakat yang melakukan banalitas kejahatan setelah adanya rezim totaliter.
Rekomendasi yang dituturkan Rieke dalam buku ini adalah imbauan agar seseorang harus bisa berdialog dengan hati nuraninya. Juga imbauan agar seseorang lebih bisa berpikrir kritis dan lebih mengedepankan dialog. Tetapi selayaknya Rieke juga memberikan rekomendasi kepada pemerintah saat ini, atau sekaligus kepada seluruh elemen masyarakat tentang masalah ini. Karena kewajiban mencegah berbagai kekerasan dan kejahatan merupakan tanggung jawab kita bersama.
Walaupun begitu, dalam menulis buku ini Rieke bertujuan agar seseorang lebih mau membuka pikirannya. Melalui berbagai penjelasan yang ditulisnya dalam buku ini, Rieke memaparkan bahwa apapun alasan ataupun tujuan adanya tindak kekerasan tidak akan berdampak positif terhadap siapapun. Karena kekerasan atau kejahatan satu pasti akan menyebabkan munculnya kejahatan yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kritik yang membangun: