Pages

Jumat, 30 Maret 2012

Membaca Sastra dengan Hati


Judul : On literature, Aspek Kajian Sastra
Pengarang : J. Hillis Miller
Halaman : xii + 166 hlm
Penerbit : Jalasutra, Yogyakarta
Cetakan : Cetakan pertama Juni 2011

Sastra mempunyai pengaruh yang sangat besar di kehidupan manusia. Sejak dulu sastra merupakan cara utama menanamkan pelbagai gagasan, ideologi, perilaku, dan penilaian kepada seseorang sesuai tujuan pencipta karya sastra. Sastra, oleh Plato, dianggap hal yang sangat berbahaya karena sifatnya yang dapat mengkontaminasi pembaca. Kekuatan sastra bisa mendorong seseorang menjadi sesuatu atau seseorang yang bukan dirinya.

Tetapi pengaruh sastra juga tidak bisa lepas dari peran pembaca. Seorang penikmat sastra tidak serta merta bisa menikmati secara penuh kandungan sastra. Sastra sangat berbeda dengan kitab suci agama yang berisi doktrin atau karya ilmiah yang bisa menambah pengetahuan seseorang. Teks-teks lain bisa dipahami dengan mudah, tapi tidak dengan sastra. Butuh seni tersendiri bagi orang yang ingin bisa secara penuh memahami sastra.

Buku On Literature merupakan satu dari sekian banyak buku yang menerangkan aspek kajian sastra. J. Hillis Miller, guru besar Kajian Sastra Bahasa Ingrris dan Sastra Banding di University of California di Irrine, melalui buku ini mengungkpakan kepada pembaca apa sebenarnya sastra itu? Bagaimana membaca sastra? Dan mengapa harus membaca karya sastra.

Buku ini diawali dengan kegelisahan Hillis tentang sastra cetak yang semakin terkikis oleh majunya teknologi audio visual, bahkan digital. Kebanyakan orang pun beralih dari budaya membaca pada kebiasaan mendengarkan radio, menonoton televisi, atau berselancar di internet. Karena itulah buku ini ada untuk mengingatkan pembaca pada pentingnya membaca terutama karya sastra.

Hillis menulis segala hal yang ia ketahui tentang sastra. Mulai dari yang ia pahami tentang apa itu sastra, berbagai pengaruh yang bisa muncul dengan membaca sastra, kenapa seseorang harus membaca karya sastra, sampai berbagai macam cara bagaimana seseorang bisa menyelami dalamnya makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra.

Syarat utama agar bisa memahami sastra adalah seseorang harus bisa memberikan seluruh pikiran, hati, perasaan, dan imajinasinya untuk mencipta ulang dunia yang diciptakan oleh untaian kata-kata. Tapi dalam menjelaskan hal itu, kelemahan yang dilakukan Hillis adalah ia lebih condong menerangkan bagaimana cara dia memahami karya sastra, yaitu dengan melakukan penciptaan ulang perspektif dirinya. Ia cenderung “memaksa” orang lain memahami sastra sesuai apa yang ia pahami. Ia tidak menjelaskan dasar pemahaman secara umum sehingga bisa diaplikasikan oleh banyak orang.

Buku ini pada dasarnya bukan hanya teori tentang bagaimana membaca sastra. walaupun tanpa ada unsur kesengajaan, Hiller juga memberikan cara-cara bagaimana membuat sebuah sastra yang baik. Seperti ketika ia menjelaskan tentang bagaimana kalimat pertama sastra disebut gerbang menuju realitas maya dan buku The Swiss Family Robinson yang membuatanya bisa menciptakan dunia baru dalam dirinya sesuai apa yang ditulis dalam buku tersebut.

Hal itu secara tidak langsung memberi tahu pembaca bahwa pembuka kalimat dalam sebuah karya sastra sangat penting bagi sastrawan agar pembaca langsung terpikat, terbawa, dan tak akan berhenti membaca sampai akhir. Juga memberitahu bahwa sastra yang baik adalah sastra yang bisa membuat seseorang bisa membuat dunia yang sama dengan dunia yang dibayangkan oleh penulis.

Telah diterbitkan di Malang Post pada 25 Maret 2012. Klik disini untuk melihat tulisan yang dimuat.

Senin, 26 Maret 2012

Meluruskan Sikap FPI

Di negeri yang telah menjunjung tinggi demokrasi ini, radikalisme masing sering terjadi. Radikalisme merupakan paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan. Radikalisme tidak mengacu pada satu paham atau aliran tertentu. Tetapi sekarang, radikalisme seperti mengalami reduksi makna. Ketika kata radikalisme diucapkan, sering tertuju pada satu agama, Islam. Hal ini tidak lain karena ulah beberapa oknum yang melakukan kekerasan dengan mengatasnamakan Islam.

Di Indonesia hal itu juga terjadi. Kekerasan yang mengatasnamakan agama kerap terjadi. Isu yang santer saat ini adalah tentang Front Pembela Islam (FPI). Mereka sering menghalalkan kekerasan mengatasnamakan Islam. Niat awal mereka sebenarnya baik. Mereka ingin melakukan amar makruf nahi mungkar, salah satu hal yang diperintahkan oleh Islam. Tetapi pada prakteknya, apa yang mereka lakukan sangat jauh dari norma-norma yang diajarkan oleh Islam. Kekerasan adalah jalan utama yang mereka tempuh untuk memperkenalkan agama yang mereka percayai. Imbas dari apa yang mereka lakukan sangat luar biasa. Islam pun dicap sebagai agama yang mengajarkan kekerasan.

Apa yang dilakukan FPI merupakan imbas dari cara mereka memahami Islam secara parsial. Hal itu menyebabkan paham truth claim yang mereka anut. Paham itu mengakibatkan mereka menyalahkan orang yang tidak sepaham dengannya. Karena merasa Islam mereka yang paling benar, mereka ingin mengubah orang yang tidak sepaham dengannya agar kembali ke fitrah versi mereka. Keinginan menegakan Islam versi mereka sendiri pun ditempuh dengan cara kekerasan. Mereka pun tidak merasa salah karena merasa yang paling benar.

Memang saat ini banyak yang telah memahami bahwa apa yang FPI lakukan bukan Islam secara umum. Mereka hanya Organisasi Massa (Ormas) yang berasaskan Islam, bukan Islam itu sendiri. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa FPI sampai saat ini masih merasa bahwa Islam yang mereka anut adalah Islam yang paling benar. Karena itu, tugas kita sebagai sesama muslim harus bisa meluruskan apa yang mereka pahami agar bisa memahami Islam secara lebih universal.

Menurut penulis, ada dua hal paling mendasar yang harus diluruskan dari sikap FPI. Yang pertama adalah truth claim yang menyalahkan muslim lain dan menganggap hanya Islam yang mereka pahami yang paling benar. Mereka benar dalam pemahaman mereka yang menyebutkan bahwa Islam yang benar adalah yang sesuai dan sejalan dengan al-Qur’an dan hadis. Sayangnya mereka tidak memperhatikan berbagai ayat yang menunjukan universalitas Islam, seperti yang termaktub dalam Q. S. Ali Imran ayat 19 dan surat al-Hujurat ayat 13. Ayat dalam surat Ali Imran tersebut menjelaskan bahwa agama yang diterima di sisi Allah adalah Islam. Islam disini berarti agama yang memberikan keselamatan, baik kepada dirinya sendiri ataupun orang lain. Hal ini berbeda dengan apa yang dipahami FPI. Menurut mereka, Islam dalam ayat tersebut berarti Islam sebagai sebuah agama, seperti halnya Kristen dan Hindu. Apa yang mereka pahami kurang tepat. Menurut Nur Cholis Madjid, ketika Allah menyebut Islam dalam arti agama yang dibawa oleh Muhammad, Ia menyebutnya dengan kata mukmin, bukan Islam dengan berbagai derivasi katanya.

Sedangkan dalam surat al-Hujurat dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar bisa saling memahami. Jadi selayaknya FPI bisa menerima hal tersebut karena perbedaan pun telah ditetapkan dalam al-Qur’an. Mereka selayaknya mau memahami penganut Islam yang berbeda pandangan dengan mereka dengan jalan membuka diri dengan menerima apa yang orang lain pahami.

Hal kedua yang perlu diluruskan dari sikap FPI adalah sikap mereka yang memusuhi penganut agama lain. Sebenarnya tidak salah kalau beranggapan bahwa Islam yang paling benar. Yang salah adalah sikap bermusuhan kepada penganut agama lain. Allah berfirman dalam surat al-Mumtahanah ayat 8 bahwa Allah tidak melarang kita berbuat baik kepada penganut agama lain yang tidak memerangi Islam atas nama agama. Artinya kita tidak diperkenankan memusuhi penganut agama lain selama mereka bukan dari kalangan Kafir Harbi. Tetapi yang dilakukan FPI adalah memusuhi non-Islam secara menyeluruh tanpa pandang bulu. Hal itu selain menjelekan nama Islam, juga mencederai al-Qur’an yang merupakan sumber hukum utama yang mereka jadikan pedoman karena melakukan sesuatu tidak sejalan dengan apa yang diajarkan al-Qur’an.

Walaupun begitu, pada dasarnya di dunia ini tidak ada kebenaran yang sejati. Kebenaran yang ada di dunia masih bersifat spekulatif. Kita hanya bisa meraba-raba agar bisa lebih mendekati kebenaran. Hal itu karena al-Qur’an yang menjadi pedoman utama menggunakan bahasa majas yang sulit dipahami. Tetapi hal yang pasti dalam menjalani kehidupan adalah keharusan kita untuk tidak hanya mencari kesuksesan ukhrawy. Keharmonisan dalam kehidupan duniawi juga harus diwujudkan. Memang benar manusia diciptakan hanya untuk beribadah. Tetapi ibadah itu bukan sebatas ibadah mahdhoh yang ditujukan kepada Tuhan. Ibadah juga mencakup hubungan antar manusia. Bagaimana manusia bisa melakukan hubungan harmonis kepada manusia lain, bukan hanya kepada orang yang satu agama atau satu aliran dengannya.

(Tulisan ini adalah teks versi Indonesia dari teks lomba Written Contest oleh WEC pada 22 Maret 2012)