Pages

Minggu, 11 November 2012

Blog Gratis Dengan Domain Web.Id.dari Merekmu

Gratis. Kata ajaib ini adalah hal yang paling dicari banyak orang. Tak terkecuali bagi seorang blogger. Banyak orang yang berusaha membuat blog atau website tetapi tidak ingin mengeluarkan kocek. Tetapi jarang ada pihak yang memberikan domain secara cuma-cuma alias gratis. Kalaupun ada pasti langsung jadi rebutan karena biasanya disediakan secara terbatas. Nah, ada informasi menarik. Sebuah web bernama www.merekmu.co.id menyediakan layanan domain gratis dengan domain web.id. So, ayo segera buat domain gratismu karena domain gratis ini cuma dibatasi sampai 1000 pendaftar. Pendaftarannya juga dibatasi sampai 7 November 2012.



Ada pepatah mengatakan 'Tak kenal maka tak sayang'. Karena itu ane mau beritahu secara singkat mengenai Merekmu. Setelah sedikit melakukan searching, inilah profil dari Merekmu.

Merekmu menawarkan layanan portofolio lengkap: pendaftaran nama domain, penciptaan merek, sentralisasi portofolio serta pemulihan dan pemantauan nama domain online. Merekmu adalah kemitraan bersama antara PT Gemilang Ananta dan Web Commerce Communications Limited (WEBCC), atau Webnic.cc, untuk mendukung dan membimbing pelanggan dengan proyek-proyek inovatif seperti mengoptimalkan visibilitas online, aspek fiskal manajemen nama domain dan perdagangan, ditambah ketentuan bantuan pengambilan keputusan untuk "Personalisasi Merek online" baru.. 

PT Gemilang Ananta adalah perusahaan ICT terkemuka yang dibentuk sejak tahun 1997, dan merupakan anak perusahaan dari PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN), penyedia jasa telekomunikasi terkemuka Asia berbasis satelit yang lengkap, meliputi layanan telepon tetap dan seluler. 

WEBCC dba Webnic.cc adalah nama pendaftar domain besar di Asia Tenggara, melayani lebih dari 600.000 nama domain. WEBCC juga merupakan penyedia nama domain one-stop terkemuka di Asia sejak tahun 2000. 

Kekuatan layanan Merekmu adalah state of the art dari teknologi dan tim ahli kami dengan pengalaman lebih dari 12 tahun berfokus pada pemasaran dan komersialias nama domain. Merekmu adalah perpaduan kekuatan dan kedalaman dalam melayani beberapa pelanggan di wilayah ini dan juga internasional, seperti PT XL Axiata Tbk, PTPN, Universitas Indonesia, Kalbe, Institut Teknologi Bandung, Motorola, Artajasa, Kementerian Kelautan Dan Perikanan Republik, AirAsia, PCCW, Petronas dan banyak lagi. Pelanggan kami adalah perusahaan multinasional, UKM, organisasi internasional dan lembaga yang menginginkan layanan kami untuk membantu pelanggan melindungi merek mereka secara online.
So, sekali-lagi ayo buruan daftar.  Tinggal buka saja www.merekmu.co.id, lalu isi form yang berisi nama domain, namamu, no hp, dan email. Setelah itu, buka email-mu dan kamu akan mendapatkan informasi selengkapnya mengenai tatacara. Namun intinya tugasmu adalah "mempromosikan promosi domain gratis dari merekmu ini melalui twitter, facebook, indonesian forum internet, ataupun blog pribadi kamu yang sudah aktif minimal 3 bulan" 

Selamat Mencoba !!!

Sabtu, 29 September 2012

Di Penghujung Akhir

Semarang, 27 Juni 2012

Duduk menanti di tepi fajar

Sendiri, berkawan langit

Merenung, apa yang telah terjadi kemarin


Tidak terasa siang berlalu

Hari ini tak ada yang teraih

Sore tiba, lalu malam menjelang

Saat menutup mata, ia pun datang

Penyesalan


Dan semua yang bisa dikenang

Hanya ada pada mereka yang mau mengenang

Jumat, 30 Maret 2012

Membaca Sastra dengan Hati


Judul : On literature, Aspek Kajian Sastra
Pengarang : J. Hillis Miller
Halaman : xii + 166 hlm
Penerbit : Jalasutra, Yogyakarta
Cetakan : Cetakan pertama Juni 2011

Sastra mempunyai pengaruh yang sangat besar di kehidupan manusia. Sejak dulu sastra merupakan cara utama menanamkan pelbagai gagasan, ideologi, perilaku, dan penilaian kepada seseorang sesuai tujuan pencipta karya sastra. Sastra, oleh Plato, dianggap hal yang sangat berbahaya karena sifatnya yang dapat mengkontaminasi pembaca. Kekuatan sastra bisa mendorong seseorang menjadi sesuatu atau seseorang yang bukan dirinya.

Tetapi pengaruh sastra juga tidak bisa lepas dari peran pembaca. Seorang penikmat sastra tidak serta merta bisa menikmati secara penuh kandungan sastra. Sastra sangat berbeda dengan kitab suci agama yang berisi doktrin atau karya ilmiah yang bisa menambah pengetahuan seseorang. Teks-teks lain bisa dipahami dengan mudah, tapi tidak dengan sastra. Butuh seni tersendiri bagi orang yang ingin bisa secara penuh memahami sastra.

Buku On Literature merupakan satu dari sekian banyak buku yang menerangkan aspek kajian sastra. J. Hillis Miller, guru besar Kajian Sastra Bahasa Ingrris dan Sastra Banding di University of California di Irrine, melalui buku ini mengungkpakan kepada pembaca apa sebenarnya sastra itu? Bagaimana membaca sastra? Dan mengapa harus membaca karya sastra.

Buku ini diawali dengan kegelisahan Hillis tentang sastra cetak yang semakin terkikis oleh majunya teknologi audio visual, bahkan digital. Kebanyakan orang pun beralih dari budaya membaca pada kebiasaan mendengarkan radio, menonoton televisi, atau berselancar di internet. Karena itulah buku ini ada untuk mengingatkan pembaca pada pentingnya membaca terutama karya sastra.

Hillis menulis segala hal yang ia ketahui tentang sastra. Mulai dari yang ia pahami tentang apa itu sastra, berbagai pengaruh yang bisa muncul dengan membaca sastra, kenapa seseorang harus membaca karya sastra, sampai berbagai macam cara bagaimana seseorang bisa menyelami dalamnya makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra.

Syarat utama agar bisa memahami sastra adalah seseorang harus bisa memberikan seluruh pikiran, hati, perasaan, dan imajinasinya untuk mencipta ulang dunia yang diciptakan oleh untaian kata-kata. Tapi dalam menjelaskan hal itu, kelemahan yang dilakukan Hillis adalah ia lebih condong menerangkan bagaimana cara dia memahami karya sastra, yaitu dengan melakukan penciptaan ulang perspektif dirinya. Ia cenderung “memaksa” orang lain memahami sastra sesuai apa yang ia pahami. Ia tidak menjelaskan dasar pemahaman secara umum sehingga bisa diaplikasikan oleh banyak orang.

Buku ini pada dasarnya bukan hanya teori tentang bagaimana membaca sastra. walaupun tanpa ada unsur kesengajaan, Hiller juga memberikan cara-cara bagaimana membuat sebuah sastra yang baik. Seperti ketika ia menjelaskan tentang bagaimana kalimat pertama sastra disebut gerbang menuju realitas maya dan buku The Swiss Family Robinson yang membuatanya bisa menciptakan dunia baru dalam dirinya sesuai apa yang ditulis dalam buku tersebut.

Hal itu secara tidak langsung memberi tahu pembaca bahwa pembuka kalimat dalam sebuah karya sastra sangat penting bagi sastrawan agar pembaca langsung terpikat, terbawa, dan tak akan berhenti membaca sampai akhir. Juga memberitahu bahwa sastra yang baik adalah sastra yang bisa membuat seseorang bisa membuat dunia yang sama dengan dunia yang dibayangkan oleh penulis.

Telah diterbitkan di Malang Post pada 25 Maret 2012. Klik disini untuk melihat tulisan yang dimuat.

Senin, 26 Maret 2012

Meluruskan Sikap FPI

Di negeri yang telah menjunjung tinggi demokrasi ini, radikalisme masing sering terjadi. Radikalisme merupakan paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan. Radikalisme tidak mengacu pada satu paham atau aliran tertentu. Tetapi sekarang, radikalisme seperti mengalami reduksi makna. Ketika kata radikalisme diucapkan, sering tertuju pada satu agama, Islam. Hal ini tidak lain karena ulah beberapa oknum yang melakukan kekerasan dengan mengatasnamakan Islam.

Di Indonesia hal itu juga terjadi. Kekerasan yang mengatasnamakan agama kerap terjadi. Isu yang santer saat ini adalah tentang Front Pembela Islam (FPI). Mereka sering menghalalkan kekerasan mengatasnamakan Islam. Niat awal mereka sebenarnya baik. Mereka ingin melakukan amar makruf nahi mungkar, salah satu hal yang diperintahkan oleh Islam. Tetapi pada prakteknya, apa yang mereka lakukan sangat jauh dari norma-norma yang diajarkan oleh Islam. Kekerasan adalah jalan utama yang mereka tempuh untuk memperkenalkan agama yang mereka percayai. Imbas dari apa yang mereka lakukan sangat luar biasa. Islam pun dicap sebagai agama yang mengajarkan kekerasan.

Apa yang dilakukan FPI merupakan imbas dari cara mereka memahami Islam secara parsial. Hal itu menyebabkan paham truth claim yang mereka anut. Paham itu mengakibatkan mereka menyalahkan orang yang tidak sepaham dengannya. Karena merasa Islam mereka yang paling benar, mereka ingin mengubah orang yang tidak sepaham dengannya agar kembali ke fitrah versi mereka. Keinginan menegakan Islam versi mereka sendiri pun ditempuh dengan cara kekerasan. Mereka pun tidak merasa salah karena merasa yang paling benar.

Memang saat ini banyak yang telah memahami bahwa apa yang FPI lakukan bukan Islam secara umum. Mereka hanya Organisasi Massa (Ormas) yang berasaskan Islam, bukan Islam itu sendiri. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa FPI sampai saat ini masih merasa bahwa Islam yang mereka anut adalah Islam yang paling benar. Karena itu, tugas kita sebagai sesama muslim harus bisa meluruskan apa yang mereka pahami agar bisa memahami Islam secara lebih universal.

Menurut penulis, ada dua hal paling mendasar yang harus diluruskan dari sikap FPI. Yang pertama adalah truth claim yang menyalahkan muslim lain dan menganggap hanya Islam yang mereka pahami yang paling benar. Mereka benar dalam pemahaman mereka yang menyebutkan bahwa Islam yang benar adalah yang sesuai dan sejalan dengan al-Qur’an dan hadis. Sayangnya mereka tidak memperhatikan berbagai ayat yang menunjukan universalitas Islam, seperti yang termaktub dalam Q. S. Ali Imran ayat 19 dan surat al-Hujurat ayat 13. Ayat dalam surat Ali Imran tersebut menjelaskan bahwa agama yang diterima di sisi Allah adalah Islam. Islam disini berarti agama yang memberikan keselamatan, baik kepada dirinya sendiri ataupun orang lain. Hal ini berbeda dengan apa yang dipahami FPI. Menurut mereka, Islam dalam ayat tersebut berarti Islam sebagai sebuah agama, seperti halnya Kristen dan Hindu. Apa yang mereka pahami kurang tepat. Menurut Nur Cholis Madjid, ketika Allah menyebut Islam dalam arti agama yang dibawa oleh Muhammad, Ia menyebutnya dengan kata mukmin, bukan Islam dengan berbagai derivasi katanya.

Sedangkan dalam surat al-Hujurat dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar bisa saling memahami. Jadi selayaknya FPI bisa menerima hal tersebut karena perbedaan pun telah ditetapkan dalam al-Qur’an. Mereka selayaknya mau memahami penganut Islam yang berbeda pandangan dengan mereka dengan jalan membuka diri dengan menerima apa yang orang lain pahami.

Hal kedua yang perlu diluruskan dari sikap FPI adalah sikap mereka yang memusuhi penganut agama lain. Sebenarnya tidak salah kalau beranggapan bahwa Islam yang paling benar. Yang salah adalah sikap bermusuhan kepada penganut agama lain. Allah berfirman dalam surat al-Mumtahanah ayat 8 bahwa Allah tidak melarang kita berbuat baik kepada penganut agama lain yang tidak memerangi Islam atas nama agama. Artinya kita tidak diperkenankan memusuhi penganut agama lain selama mereka bukan dari kalangan Kafir Harbi. Tetapi yang dilakukan FPI adalah memusuhi non-Islam secara menyeluruh tanpa pandang bulu. Hal itu selain menjelekan nama Islam, juga mencederai al-Qur’an yang merupakan sumber hukum utama yang mereka jadikan pedoman karena melakukan sesuatu tidak sejalan dengan apa yang diajarkan al-Qur’an.

Walaupun begitu, pada dasarnya di dunia ini tidak ada kebenaran yang sejati. Kebenaran yang ada di dunia masih bersifat spekulatif. Kita hanya bisa meraba-raba agar bisa lebih mendekati kebenaran. Hal itu karena al-Qur’an yang menjadi pedoman utama menggunakan bahasa majas yang sulit dipahami. Tetapi hal yang pasti dalam menjalani kehidupan adalah keharusan kita untuk tidak hanya mencari kesuksesan ukhrawy. Keharmonisan dalam kehidupan duniawi juga harus diwujudkan. Memang benar manusia diciptakan hanya untuk beribadah. Tetapi ibadah itu bukan sebatas ibadah mahdhoh yang ditujukan kepada Tuhan. Ibadah juga mencakup hubungan antar manusia. Bagaimana manusia bisa melakukan hubungan harmonis kepada manusia lain, bukan hanya kepada orang yang satu agama atau satu aliran dengannya.

(Tulisan ini adalah teks versi Indonesia dari teks lomba Written Contest oleh WEC pada 22 Maret 2012)

Senin, 27 Februari 2012

Tak Kusangka

Oleh: Zuha Muhammad

Tak kusangka. Aku yang tak pernah lepas dari posisi tiga besar di tiap catur wulan semasa duduk di Madrasah Ibtida’iyah ini, bisa terpuruk di kelas yang sama selama dua tahun ketika duduk di kelas satu Madrasah Tsnawiyah. Itu terjadi pada tahun-tahun awal ketika merantau di penjara suci yang membuatku mendapat predikat santri. Hidup tak semudah yang kukira. Ternyata aku terlalu cepat lepas dari pengawasan Ayah dan Bunda. Aku terlalu dini untuk hidup mandiri.

Tak kusangka. Aku yang selama satu dekade dimanja oleh ketulusan Ibu dalam mengasih dan ketabahan Ayah dalam mendidik, kembali menumpahkan air tuba. Tepat di tahun keduaku duduk dalam bangku kelas yang sama, kelakuanku semakin menjadi-jadi. Sematan nakal sudah merupakan krama inggil untuk menyatakan perilakuku. Selalu keluar di malam hari, tak pernah berhenti tidur didalam kelas, kegiatan pondok yang selalu kutinggal, dan entah apa lagi yang telah kulakukan. Tinggal di kelas yang sama untuk ketiga kalinya hampir kualami, kalau tak ada syafaat yang datang.

Tak kusangka. Aku masih saja terlena dengan bujukan dan rayuannya. Sang keturunan iblis itu sangat pandai memainkan lidah. Entah apa yang dikatakannya waktu itu. Setoran masih lama lah. Lebih baik bersenang-senang saja lah. Aku yang sering jadi juara kelas lah. Dan entah apa lagi yang dilontarkannya. Tergiur oleh nikmatnya dunia yang dihembuskan, hafalan yang menjadi syarat kenaikan kelas pun tak kuhiraukan. Setelah hampir paruh tahun terkena rayuannya, aku sadar. Baru 70 bait nadhom yang kuhafal dari 600 bait yang menjadi syarat kenaikan kelas. Padahal sebelumnya, lebih dari dua tahun yang kubutuhkan untuk menyerap 500 bait yang menjadi syarat kenaikan di kelas satu.

Tak kusangaka. Rendah hati tak selalu berbuah manis. Kesempatan untuk bisa berorganisasi dari seorang teman tak ku gubris. Waktu itu aku berpikir bahwa ketika seorang ingin melakukan sesuatu, maka ia harus ahli di bidang yang ia jalani. Aku merasa tak mampu, walau sebenarnya hati ini ingin melakukannya. Pada akhirnya aku sadar bahwa aku masih dalam tahap pembelajaran. Karena itu tak apa kalau belum mampu karena tiap hal merupakan sebuah proses. Tapi apalah daya. Posisi itu sudah diisi oleh orang lain. Aku semakin sadar bahwa diri ini masih bukan apa-apa.

Tak kusangka. Sifat egois dan pragmatis selalu menyelimuti diri ini di masa silam. Aku tak rela mengeluarkan sedikit kocek untuk pembuatan majalah yang sebenarnya tak seberapa dibanding pengalaman yang akan kudapat. Aku juga tak rela melepas sedikit waktu yang sebenarnya sangat singkat dibanding panjangnya waktu di masa depan yang bisa kuringkas dengan jerih payah proses membangun kebersamaan di masa Aliyah. Aku saat itu terlalu takut untuk mencoba hal yang baru.

Tak kusangka. Kesalahan dalam pengambilan keputusan selalu kualami. Kegagalan hidup kudera bertubi-tubi. Hidup bagai tak berasa. Pergolakan hati telah membuat diri ini mati. Ditengah pesnitaan diri, aku teringat pesan Abah Yai.

Kehidupan masa lalu memang bisa menyakiti. Dan tiap tindakan pasti butuh kemantapan hati. Kamu bisa memilih untuk lari, atau belajar dan mengambil intisari dari apa yang telah kau alami”

Lalu, aku pun mulai belajar bersyukur.

Aku bersyukur pernah mengalami pahitnya tinggal kelas. Aku menjadi tahu bahwa segala hal membutuhkan persiapan yang matang. Lebih-lebih persiapan mental. Karena hal itu bisa membuat kepala tetap tegak di tengah kegagalan.

Aku bersyukur pernah menjadi most wanted di pondok pesantren tempatku menimba ilmu. Hal itu membuatku sadar akan dahsyatnya usaha yang disertai doa. Penundaan batas setoran hafalan sampai dua bulan yang kuterima tak akan kudapat, kalau sedikit saja aku menyerah dalam berbagai usaha dan lobi yang gencar. Usaha yang kukira gagal, ternyata membuahkan hasil. Aku pun sadar kalau itu berkat doa yang saban hari kudendangkan bagi Sang Ilahi Rabbi.

Aku bersyukur pernah terlena kembali untuk kesekian kalinya. Dengan itu aku sadar dengan tingginya potensi manusia. Aku tak menyadari hal itu sebelumnya. Yang kulakukan hanya setiap hari menekuni hafalan tiap ada waktu senggang. Takjub kurasakan saat tahu bahwa aku berhasil menyelesaikan 600 bait dalam tenggang waktu kurang dari enam bulan. Padahal sebelumnya lebih dari dua tahun yang dibutuhkan untuk menyerap bait yang jumlahnya lebih sedikit. Kurasakan potensi yang diberikan Tuhan pasti akan terasa bagi orang yang fokus dan bersungguh-sungguh dalam menggunakannya.

Aku bersyukur pernah menolak ajakan berproses dari teman seperjuangan. Hal tersebut membuatku sadar bahwa kesempatan yang sama tak akan datang dua kali. Aku juga masih sangat labil ketika itu. Kalau saja aku meng-iyakan ajaknnya, mungkin sifat takabur-ku membuncah karena merasa sudah menjadi orang yang dibutuhkan. Kalau aku menerima ajakannya, mungkin aku tak akan sadar bahwa aku adalah orang terakhir yang ditemuinya dalam rangka membangun bersama organisasi yang kuat waktu itu.

Aku bersyukur, pernah berlaku sangat egois dan pragmatis. Hal itu membuatku sadar bahwa pengorbanan adalah bukan ketika seseorang bisa melakukan berbagai hal besar. Tetapi pengorbanan adalah ketika seseorang bisa melakukan hal kecil di tengah keterpurukan yang bisa menopang dan menjaga hal-hal besar. Aku juga menjadi sadar bahwa aku harus malu ketika enggan melakukan hal kecil karena gengsi. Tak ada orang yang langsung bisa menjadi besar dan luar biasa super. Karena sepotong baju pun sebelumnya tak lebih dari seutas benang tipis tak berarti, yang akhirnya bisa berguna dan bisa melindungi karena mau bersatu dan berbagi.

Aku bersyukur masih menyadari bahwa saat ini aku masih belum apa-apa dibanding yang lain. Aku sadar masih sering melakukan banyak kesalahan. Aku tak boleh menyerah dan gundah, karena aku masih diberi nikmat bisa bersyukur. Aku bersyukur masih bisa belajar. Dan aku pun bersyukur masih bisa bersyukur.

Kamis, 23 Februari 2012

Menghidupkan Kembali Kematian


Judul : Kematian, Sebuah Risalah Tentang Eksistensi dan Ketiadaan

Pengarang : Muhamaad Damm

Halaman : xxvii + 124 hlm.

Penerbit : Kepik

Cetakan : Cetakan pertama November, 2011


Kematian masih merupakan misteri yang belum terpecahkan. Ia akhir dari kehidupan dan tak ada seorang pun yang pernah mengalami kematian. Masih ada kabut sangat tebal yang menyelubunginya. Selama ini, pengetahuan kita tentang kematian hanya sebatas si-A sedang sekarat (dying) atau telah mati. Tak ada yang pernah tahu seperti apa wujud kematian itu sendiri.

Mengapa harus membicarakan kematian? Mungkin sebagian dari kita berpikir mengapa tidak membahas perihal kehidupan saja? Masih banyak masalah kehidupan pelik yang belum terpecahkan. Namun, kesementaraan adalah hal yang tak bisa dieliminasi dari kehidupan manusia. Dan kematian adalah kejadian paling nyata yang memberikan konfirmasi atas kesementaraan itu. Adanya kematian sejelas adanya diri kita. Atas dasar inilah Muhammmad Damm menulis sebuah buku, Kematian, Sebuah Risalah Tentang Eksistensi dan Ketiadaan.

Buku ini merupakan pengembangan dari skripsi Muhammad Damm yang meluluskannya menjadi sarjana Filsafat Universitas Indonesia (UI) dengan predikat cum laude. Dengan menggunakan pisau filsafat, ia menjelaskan arti sesungguhnya dari apa yang dinamakan kematian.

Ketika seseorang dinyatakan mati dan kehilangan nyawa, apa yang membedakannya dengan kematian seekor hewan dan sebatang tumbuhan? Hal itu adalah kemampuan untuk “mengada”. Selain tubuh yang bernyawa, manusia juga mempunyai tubuh sosial yang membuatnya bisa “mengada” dengan berinteraksi dengan manusia lain. Tubuh yang bernyawa yang disebut tubuh korpereal merupakan wadah bagi tubuh sosial. Ketika tubuh korporeal seseorang tak lagi bernyawa yang mengakibatkan tubuh sosial tak lagi bekerja, maka ia telah mengalami kematian yang sebenarnya. Yaitu yang disebut dengan kematian eksistensial: sebuah keadaan hilangnya kemampuan untuk berbuat dan mengada.

Sebelum menjelaskan tentang kematian dan kematian eksistensial, dalam buku ini, Muhammad Damm lebih dulu menjelaskan tentang arti manusia dan eksistensi. Menurutnya, manusia adalah makhluk tanpa sifat alamiah, karena semua tindak tanduknya dibentuk oleh masyarakat berdasarkan norma-norma yang mengikat. Tetapi ini bukan berarti seseorang tak bisa menjadi dirinya sendiri. Hal ini lebih dikarenakan manusia dan masyarakat adalah hal yang tak bisa dipisahkan. Manusia bisa mengada kalau sudah berada dalam suatu tatanan masyrakat. Sebaliknya masyarakat pun bisa ada karena manusia yang membangunnya.

Membaca buku ini tak akan menghasilkan pemahaman yang lengkap apabila tak membacanya dari awal. Ini dikarenakan ada beberapa diksi yang pemaknaannya berbeda dengan apa yang diketahui orang kebanyakan. Seperti “kebenaran” yang disama artikan dengan nilai, “pengetahuan” yang “kebenaran” yang terus dilakukan sehingga menjadi sebuah kebisaan, dan “interupsi” yang berarti hal-hal yang terjadi dalam masyarakat diluar kebiasaan dan rutinitas, seperti bencana dan lain sebagainya.

Buku ini termasuk buku yang ringan untuk kategori buku pemikiran filsafat. Muhammad Damm sangat pandai memilih kosakata dalam menjelaskan pemikirannya. Pembaca tak akan sering mengernyitkan dahi atau membaca berulang kali untuk mendapatkan pemahaman yang menyeluruh. Sehingga buku ini bisa dikonsumsi oleh berbagai kalangan.


Alhamdulillah, telah dimuat di Koran Jakarta pada Rabu, 22 Februari 2012

Klik disini untuk melihat tulisan yang dimuat.