Pages

Selasa, 27 Desember 2011

Re-Orientasi Tugas Mahasiswa

Agent of social change, tiap mahasiswa pasti sangat familiar dengan sebutan itu. “Agen perubahan sosial”, itulah tugas utama yang diemban siswa yang telah menjadi maha, atau lebih tepatnya tugas yang disematkan secara paksa oleh para aktifis pergerakan, terutama dalam acara orientasi pengenalan akademik dan kemahasiswaan yang diperuntukkan mahasiswa baru. Entah sadar atau tidak, doktrin itu telah tertancap di lubuk hati para mahasiswa.
Kalau yang dimaksud dengan agen perubahan sosial di sini adalah tindakan yang bisa dirasakan oleh masyarakat pada umumnya, faktanya mahasiswa memang pernah mempunyai kekuatan untuk melakukan hal tersebut. Kekuatan yang sanggup menggulingkan pemerintahan mantan presiden Soeharto 1997 silam. Tapi titel agent of social change untuk mahasiswa sebenarnya terlalu dibesar-besarkan. Titel itu seolah-olah menjustifikasi bahwa mahasiswa lah satu-satunya agen perubahan. Kalau penggulingan soeharto dijadikan bukti konkrit kekuatan mahasiswa dalam melakukan hal tersebut, tetapi fakta pula yang menunjukkan setelah peristiwa itu tak pernah ada lagi aksi mahasiswa yang bisa dibilang memberikan dampak yang besar.
Sebelum menjadi mahasiswa, tiap mendengar kata mahasiswa hanya ada satu pikiran yang terlintas di benak penulis: tukang demo. Itu memang fakta dan memang tidak bisa dipungkiri bahwa mahasiswa, terutama mahasiswa pergerakan, sangat identik dengan demo. Setelah menjadi mahasiswa penulis lebih tahu bahwa ternyata hanya segelintir orang saja yang suka demo dan rata-rata mereka merupakan mahasiswa pergerakan. Mereka merasa memiliki misi suci yang ingin mereka wujudkan demi Indonesia yang lebih baik.
Tetapi berbagai demo yang mereka lakukan, yang dimaksudkan ingin membela rakyat kecil, terkadang tanpa mereka sadari juga menyusahkan kaum yang mereka bela. Almarhum Sondang Hutagulung, aktivis luar biasa yang meninggal karena membakar diri di depan istana presiden pun tidak luput dari kritik semasa hidupnya. Ia pernah diingatkan oleh Pirto Hutagulung, ayahnya sendiri yang bekerja sebagai sopir angkot bahwa demo yang dilakukannya mengganggu ketertiban lalu lintas dan itu sangat berdampak pada penghasilan sopir angkot. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan sosial yang ingin mereka capai juga mempunyai dampak buruk terhadap sebagian kalangan. Kalau pun mereka beralasan setiap perjuangan membutuhkan pengorbanan, tetapi demo bukan satu-satunya jalan dalam melakukan perubahan sosial. Apabila terpaksa melakukan demo, harus dipikirkan cara yang tidak mengganggu ketertiban umum.
Penulis berasumsi bahwa demo yang mereka lakukan merupakan imbas dari aksi mahasiswa pada waktu reformasi. Dampak luar biasa dari peristiwa itu seperti dalil kuat yang mendorong aksi demo para mahasiswa. Padahal sebetulnya demo tahun 1997 dulu bukan sekedar demo. Demo itu merupakan puncak dari usaha mahasiswa yang bersatu untuk melawan pemerintahan yang tirani. Dalam arti demo itu bisa melahirkan perubahan sosial yang besar karena telah menghabiskan waktu yang panjang dan tujuan (musuh:red) mereka jelas. Setelah peristiwa itu Agent of Social Change menjadi populer dan disematkan secara khusus kepada mahasiswa.
Beberapa hal itu merupakan sekian dari dampak doktrinasi agent of social change. Titel yang dikhususkan kepada mahasiswa itu sebaiknya dihilangkan. Toh nyatanya para pejabat yang melakukan korupsi dulunya juga mahasiswa. Berita di berbagai surat kabar tentang PNS muda yang memiliki rekening gendut, dulunya juga mahasiswa. Hal ini bisa dikatakan lucu bahwa para koruptor merupakan hasil dari mahasiswa yang notebene merupakan agen perubahan sosial. Mungkin karena doktrin yang mereka pahami bahwa mahasiswa merupakan agen perubahan sosial, sehingga mereka yang sudah bukan mahasiswa sudah tidak mempunyai kewajiban untuk melakukan hal tersebut. Padahal sebenarnya bukan hanya mahasiswa yang mempunyai tanggungan itu.
Iklan bertema Agen Perubahan Sosial merupakan tugas bersama harus digaungkan. Tugas melakukan perubahan sosial terlalu berat untuk diemban mahasiswa. Itu bukan dikarenakan mahasiswa saat ini lebih lemah dari sebelumnya. Hal itu bertujuan untuk menyadarkan masyarakat bahwa melakukan perubahan sosial bukan semata tugas mahasiswa, tetapi tugas setiap elemen masyarakat. Hal itu harus dilakukan apabila ingin menciptakan indonesia yang lebih baik.

(Tulisan ini pernah dimuat dalam buletin El-Fikry edisi ke-4 Desember 2011 yang diterbitkan oleh PMII Rayon Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang).

Jumat, 23 Desember 2011

Ikimonogakari - Yell

“’Watashi’ wa ima doko ni aru no” to
Fumishimeta ashiato wo nandomo mitsumekaesu
Kareha wo daki akimeku madobe ni
Kajikanda yubisaki de yume wo egaita

Tsubasa wa aru no ni tobezu ni irun da
Hitori ni naru no ga kowakute tsurakute
Yasashii hidamari ni kata yoseru hibi wo
Koete bokura kodoku na yume e to aruku

Sayonara wa kanashii kotoba ja nai
Sorezore no yume e to bokura wo tsunagu yell
Tomo ni sugoshita hibi wo mune ni idaite
Tobitatsu yo hitori de tsugi no sora e

Bokura wa naze kotae wo asette
Ate no nai kuragari ni jibun wo sagasu no darou
Dareka wo tada omou namida mo
Massugu na egao mo koko ni aru no ni

“Hontou no jibun” wo dareka no kotoba de
Tsukurou koto ni nogarete mayotte
Ari no mama no yowasa to mukiau tsuyosa wo
Tsukami bokura hajimete ashita e to kakeru

Sayonara wo dareka ni tsugeru tabi ni
Bokura mata kawareru tsuyoku nareru kana
Tatoe chigau sora e tobitatou to mo
Todae wa shinai omoi yo ima mo mune ni

Eien nado nai to kizuita toki kara
Waraiatta ano hi mo utaiatta ano hi mo
Tsuyoku fukaku mune ni kizamarete iku
Dakara koso anata wa dakara koso bokura wa
Hoka no dare demo nai dare ni mo makenai
Koe wo agete “watashi” wo ikite iku yo to
Yakusoku shitan da hitori hitori hitotsu hitotsu michi wo eranda

Sayonara wa kanashii kotoba ja nai
Sorezore no yume e to bokura wo tsunagu yell
Itsuka mata meguriau sono toki made
Wasure wa shinai hokori yo tomo yo sora e

Bokura ga wakachiau kotoba ga aru
Kokoro kara kokoro e koe wo tsunagu yell
Tomo ni sugoshita hibi wo mune ni idaite
Tobitatsu yo hitori de tsugi no sora e



I look back on the footprint I’ve left again and again
Thinking “Where is ‘me’ now?”
I scooped uo the dead leaves in my arms
And drew my dreams on the autumn window with my numb fingertips

I have wings but I can’t fly
I’m afraid of being alone, it’s too painful
We’re leaving behind those days of cuddling in the gentle sun
And walking on to our lonely dreams

Goodbye isn’t a sad word
It’s a yell that connects us to our respective dreams
I’ll hold the days we spent together in my heart
And take off alone to my next sky

Why do we get impatient for an answer
And search for ourselves in darkness so deep that we get lost in it?
When we have the tears and straightforward smiles
Of just loving someone, right here?

When it comes to our real selves, we get off track, get confused
And think it’s made up by other people’s words
We’ll take hold of our natural weakness and the strength to face it
And start running to tomorrow for the first time

Maybe every time we say goodbye to someone
We can change, we can become stronger
Even if we take off to different skies
This love won’t stop, it still remains in my heart

Ever since I realised there’s no such thing as eternity
The day we laughed together, and the day we sang together
Have become strongly, deeply carved into my heart
That’s why you, that’s why we
Aren’t anybody else, can’t be beaten by anyone
We raised our voices and promised that we’d live our lives our way
Each of us chose our own path

Goodbye isn’t a sad word
It’s a yell that connects us to our respective dreams
Until we meet again someday
I won’t forget this pride, my friend, into the sky

We have a word that we share
It’s a yell that connects our voices, one heart to another
I’ll hold the days we spent together in my heart
And take off alone to my next sky


Jumat, 16 Desember 2011

Melihat Ahmadiyah dari Sisi Ahmadiyah


Ajaran Ahmadiyah, salah satu firqoh dalam Islam, sampai saat ini masih menjadi “musuh” bagi kebanyakan Organisasi Kemasyarakatan (ormas) Islam di Indonesia. Sejak pertama kali kemunculan firqoh (kelompok) tersebut pada tahun 1898 ajaran tersebut sudah bisa dikatakan “nyleneh”. Hal itu jelas dikarenakan mereka yang mengklaim mempunyai nabi baru bernama nama Mirza Ghulam Ahmad. Hal yang diresahkan umat islam adalah karena mereka juga menyatakan diri mereka bagian dari Islam. Dan bahwa ajaran yang telah umum dalam Islam yang menyatakan bahwa nabi Muhammad merupakan nabi terakhir dan penutup para nabi, seakan di nasikh (di hapus) oleh kedatangan Mirza Ghulam Ahmad yang membawa risalah baru bernama Tadzkirah.

Ahmadiyah sendiri mulai masuk Indonesia sejak adanya tiga orang asal Sumatra yang bernama Abu Bakar Ayyub, Ahmad Nuruddin, dan Zaini Dahlan yang atas perintah guru mereka memutuskan untuk belajar lebih dalam tentang Islam di India, yang saat itu sudah memulai ajaran islam yang lebih “modern”. Sampailah mereka di pusat Ahmadiyah yang berada di desa Qadian. Karena merasa cocok dengan ajaran Ahmadiyah tersebut, mereka pun akhirnya di baiat dan mengajak rekan-rekan dari Sumatra untuk menuntut ilmu disana. Pada tahun 1925 Khalifatul Masih II, pemimpin Ahmadiyah pada saat itu, atas permintaan beberapa muridnya mengirimkan wakilnya yang bernama Maulana Rahmat Ali HAOT untuk menjadi mubaligh di Indonesia. Pada akhirnya tahun 1926 jamaah ahmadiyah mulai resmi menjadi organisasi di Indonesia.

Tetapi karena ajaran mereka yang sangat berbeda dengan ajaran Islam kebanyakan, terutama ajaran ekstrim mereka tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad, Rabithah ‘Alam Islami, organisasi Islam internasional yang berdiri di Makkah mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah adalah non-Islam pada tahun 1974. MUI pun ikut mengeluarkan fatwa sesatnya ahmadiyah. Hal itu menjadikan para pengikut jamaah tersebut mendadak mempunyai banyak “musuh”

Akhirnya kontra fisik antara jamaah ahmadiyah dan non-ahmadiyah pun kerap terjadi. Yang terakhir adalah peristiwa bentrok di Pandeglang Banten awal Februari silam yang menewaskan tiga jemaat Ahmadiyah dan terlukanya belasan jemaat yang lain.

Sebenarnya peristiwa tersebut tidak perlu terjadi. Adanya bentrok antara Ahmadiyah dan non-Ahmadiyah terjadi karena kurang fahamnya umat islam, di Indonesia khusunya, tentang eksistensi Ahmadiyah itu sendiri. Hal yang mutlak harus diketahui sebelum memutuskan sesuatu itu benar atau salah adalah mengetahui sesuatu tersebut dari sudut pandang sesutau tersebut yang dalam hal ini adalah Ahmadiyah itu sendiri.

Pihak MUI pasti sudah mengetahui tentang Ahmadiyah yang pecah menjadi dua bagian, Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah Lahore. Ahmadiyah qadian (di Indonesia disebut Jamaah Ahmadiyah Indonesia) adalah Ahmadiyah yang ajaran utamanya diketahui orang kebanyakan, yaitu ajaran bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi setelah Muhammad. Sedangkan Ahmadiyah Lahore (di Indonesia disebut Gerakan Ahmadiyah Indonesia) tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, tetapi hanya sekedar mujaddid karena bagi mereka Muhammad tetap nabi yang terakhir.

Entah apa yang menjadi motivasi MUI sehingga memfatwakan kesesatan kedua varian firqoh tersebut. Kalau sandaran mereka adalah karena Ahmadiyah tidak mengakui Muhammad sebagai nabi terakhir, sudah jelas sekali kalau Ahmadiyah Lahore tidak masuk dalam katagori tersebut. Mereka tetap mengakui eksistensi Muhammad sebagai nabi terakhir. Kedudukan Mirza Ghulam Ahmad di mata Ahmadiyah Lahore mungkin seperti kedudukan Syeikh Abdul Qadir Jaelani di mata Islam sunni Indonesia (baca: NU). Penulis malah sering menemukan praktek “berlebihan” dalam upaya Islam Sunni Indonesia menghoramati Sulthanu al-Auliya’ melebihi penghormatan mereka terhadap pembawa risalah Islam, Muhammad. Hal itu bisa dilihat ketika mereka mauludan atau dziba’an (acara pembacaan al-Barjanji, kitab yang memuat sejarah Muhammad) dan Manaqiban (acara pembacaan kitab yang memuat sejarah Abdul Qadir). Ketika membaca al-Barjanji jarang sekali penulis menemui suatu jamaah yang membacanya sampai khatam dalam satu majlis. Mereka selalu meloncat-loncat per bab dalam membaca sehingga acara mauludan bisa cepat selesai. Setelah itu mereka mengadakan jamuan dengan hidangan ala kadarnya.

Berbeda ketika melakukan Manaqiban. Mereka tak pernah sekalipun melakukan Manaqiban kecuali menghatamkan kitab sejarah tersebut. Setelah acara selesai pun mereka melaksanakan jamuan makan yang penulis kira “berharga lebih” dari hidangan dalam acara Mauludan. Bahkan ada beberapa yang “mewajibkan” adanya masakan ayam kampung dalam setiap acara Manaqiban karena itu adalah masakan kesukaan Abdul Qadir. Kalau mereka mau instropeksi diri, sebenarnya mereka sama dengan jamaah Ahmadiyah Lahore dalam hal kekaguman mereka terhadap tokoh selain Muhammad. Jadi tidak laiknya mereka menganggap Ahmadiyah Lahore sebagai kelompok sesat.

Adapun Ahmadiah Qodian, memang mereka mempunyai nabi dan kitab sendiri. Jadi penulis berasumsi bahwa Ahmadiyah Qadian memang bukan bagian dari Islam. Mereka adalah agama independen yang mempunyai ajaran yang berbeda dengan islam. Dalam hal ini penulis melihat kedudukan Ahmadiyah Qadian sama dengan posisi Islam di awal masa kenabian dulu. Islam adalah agama penyempurna agama samawi yang dibawa oleh nabi sebelumnya. Muhammad yang datang dengan al-Qur’an sebagai risalah baru tetap mengakui eksistensi Nabi-Nabi sebelumnya.

Begitu juga dengan Ahmadiyah Qadian. Mereka bisa dikatakan agama baru karena Mirza Ghulam Ahmad datang dengan Tadzkirah-nya. Dia tetap mengakui adanya Muhammad sebagai nabi, hanya saja bukan sebagai nabi terakhir. Jadi bisa dikatakan kedudukan Ahmadiyah sama dengan kedudukan Islam dalam hal “penyempurnaan terhadap agama sebelumnya”.

Terlepas dari agama mana yang benar dan mana yang salah, sebenarnya semuanya tidak ada yang salah. Yang salah adalah mereka yang mengaku beragama tetapi tidak mau menjalankan ajaran agama mereka dengan benar. Sebagai seorang yang mengaku muslim (karena penulis adalah seorang muslim) kita harus mau dan bisa menjalankan agama dengan benar, yang dalam konteks ini sesuai dengan al-Qur’an dan hadis.

Memang dalam al-Qur’an, tepatnya di surat Ali Imran ayat 19 diterangkan bahwa agama yang paling benar disisi Allah adalah Islam. Tetapi penulis lebih condong sepakat pada pendapat yang menyatakan bahwa Islam di ayat tersebut bukan Islam yang berarti agama yang dibawa Muhammad. Tetapi Islam disini adalah agama yang berserah diri, agama yang khanif, agama yang mengajarkan kebaikan. Karena menurut pribadi penulis, tidak ada agama yang mengajarkan keburukan. Keburukan itu tidak datang dari suatu ajaran agama tetapi dari penganut agama itu sendiri yang salah atau bahkan sengaja salah dalam memahami kitab pedoman mereka.

Pada akhirnya kewajiban bagi kita sebagai muslim adalah untuk melakukan Ukhuwah Islamiyah yang berarti bukan menjalin persaudaraan terhadap sesama Muslim (baca: umat Muhammad) tetapi menjalin tali persaudaraan yang islami, yang berdasarkan asas islam dan tentunya tidak ditujukan kepada Muslim semata. Tetapi juga kepada penganut agama lain. Karena misi datangnya islam adalah rahmatan li al-‘alamin, bukan rahmatan li al-mukminin faqot.

Kamis, 01 Desember 2011

Komaruddin Hidayat



Biografi singkat
Komaruddin Hidayat lahir di Magelang, Jawa Tengah, pada 18 Oktober 1953. Sejak kecil Komaruddin dekat dengan dunia Islam utamanya pesantren. Komarudin merupakan Alumni pesantren modern Pabelan, Magelang (1969) dan Pesantren al-Iman, Muntilan (1971). Setelah lulus dari pesantren, ia melanjutkan studi sarjana muda (BA) di bidang Pendidikan Islam (1977) dan sarjana Lengkap (Drs.) di bidang Pendidikan Islam (1981) di IAIN Jakarta. Komaruddin melanjutkan studi S2 dan doktoral ke luar negeri. Ia Meraih doktor di bidang Filsafat Barat di Middle East Techical University, Ankara, Turkey (1990)[1].
Ketika menjadi mahasiswa sampai lulus S1, ia pernah menjadi wartawan majalah Panji Masyarakat selama 4 tahun (1978-1982). Komaruddin adalah orang yang percaya bahwa masa kecil seseorang menentukan akan menjadi apa orang tersebut kelak. Dan ia merasa beruntung karena sejak kecil orangtuanya telah mengarahkannya ke jalan yang kini ia yakini sebagai “benar”[2].
Komaruddin merupakan kolumnis di beberapa media massa seperti Harian Kompas, Seputar Indonesia dan Republika. Selaku akademisi, Ia menjadi Dosen pada Fakultas Pasca Sarjana IAIN Jakarta (sejak 1990), dosen pada Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia (sejak 1992), dan dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara (sejak 1993). Selain sebagai dosen, ia juga sebagai Dewan Redaksi majalah Ulumul Qur`an (sejak 1991), Dewan Redaksi jurnal Studia Islamika (sejak 1994), Dewan Editor dalam penulisan Encylopedia of Islamic World, dan Direktur pada Pusat Kajian Pengembangan Islam Kontemporer, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sejak 1995).[3] Sejak tahun 1990, ia merupakan salah satu peneliti tetap Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta.
Ia juga menulis banyak buku. Diantaranya Memahami Bahasa Agama (1996), Masa Depan Agama (1995), Tragedi Raja Midas (1998), Tuhan Begitu Dekat (2000), Wahyu di Langit, Wahyu di Bumi (2002), Menafsirkan Kehendak Tuhan (2003), dan Psikologi Kematian (2005)[3] Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini memiliki visi mengindonesiakan Islam, bukan mengislamkan Indonesia.
Ia berpendapat bahwa di Indonesia agama pernah menjadi sumber kekuatan melawan imperialisme demi kemerdekaan bangsa. Tetapi yang terjadi sekarang menurutnya ada segelintir orang menjadikan agama sebagai sumber konflik. Ia juga mengatakan walaupun masyarakat Indonesia sebagai masyarakat plural, tetapi cenderung hidup dalam kepompong suku, ras,dan agama. Komaruddin berpesan bahwa anyaman sosial yang menjadi jati diri bangsa jangan sampai dirusak dan dirobek-robek, oleh ideologi ekslufisme penebar kebencian dan permusuhan. Dengan demikian harus diwujudkan proyek membina, membangun dan menciptakan mimpi-mimpi besar para the founding fathers. Jangan sampai terlupakan oleh retorika hiruk pikuk yang kadang-kadang bersifat parsial[4]
Suami dari Ait Choeriyah dan bapak dari dua anak ini sudah dikukuhkan sebagai guru besar filsafat agama oleh almamaternya Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta sejak Desember 2001. Obsesinya untuk membumikan ajaran-ajaran Islam pernah ia tuangkan dalam pidato pengukuhannya yang ia beri judul “Ketika Agama Menyejarah”. Di situ ia mengemukakan bahwa Islam pada awal pertumbuhannya menunjukkan visi, potensi, dan prestasi yang sangat menakjubkan dalam membangun peradaban unggul dengan cara damai, intelektual, dan beradab. Namun, masa-masa produktif Islam menjadi terganggu ketika umat Islam terjebak dalam sengketa politik, baik sesama Muslim maupun dengan pihak Yahudi dan Nasrani[5].
Muhammad menurut Komaruddin
Komaruddin adalah sosok yang suka berdialog tentang Islam kepada siapapun yang mengajaknya berdiaolog. Tanpa memandang agama atau status sosial orang tersebut karena baginya ajaran Islam itu sangat luas dan dalam. Ia termasuk sosok yang pluralis karena ia cenderung tidak suka membicarakan apa yang akan didapatkan seseorang di akhirat kelak.
Ia berpendapat bahwa Islam itu bermula sebagai ajaran wahyu yang datang dari langit, bukan muncul dari ranah bumi yang bersifat historis-sosiologis dan psikologis. Tapi walaupun begitu, jika ia ditantang untuk memberikan pembuktian ilmiah empiris, nalar dan metodologi empiris ia tidak mampu melakukannya karena Alquran itu dari disampaikan oleh malaikat Jibril yang merupakan makhluk gaib.
Argumen ilmiah historis yang memperkuat keyakinan Komaruddin tentang kebenaran dan kemuliaan Islam adalah mengenal riwayat hidup pembawanya, yaitu sosok Muhammad. Kalau mempelajari agama ataupun ideologi besar dunia, Ia selalu ingin memulai dengan mengenal siapa pembawa atau pendirinya. Untuk ini pun ia pasti dipengaruhi oleh bacaan yang tersedia. Karena terlahir di wilayah padang pasir dan sudah masuk abad keenam, dua faktor ini sangat membantu bagi sejarawan untuk menelusuri secara detail tentang sosok Muhammad sebagai figur historis.
Catatan historis tentang Muhammad jauh lebih utuh dan transparan ketimbang sosok rasul Tuhan sebelumnya yang sulit ditelusuri secara utuh oleh sejarawan. Sejak kelahiran sampai wafatnya, Muhammad berada dalam terang sejarah sehingga bagi mereka yang ingin mempelajarinya sangat terbuka, terlepas nanti seseorang akan memuji, mengkritik, mencintai, ataukah membenci, itu pilihan sikap masing-masing. Sosok Muhammad benar-benar merupakan buku kehidupan yang terbuka[6].
Sufisme ala Komaruddin
Pandangan-pandangan kesufian Komaruddin sudah banyak dikenal, lantaran ia termasuk rajin berceramah tasawuf di berbagai forum. Kekuatan ceramah tasawuf pria penggemar olah raga tenis ini terletak pada metafor-metafor yang dinukil dari kisah-kisah sufi klasik kemudian direfleksikan ke dalam kehidupan aktual saat ini. Tulisan-tulisannya mengalir dan enak dibaca karena tulisan-tulisannya itu lebih merupakan refleksi ketimbang analisis ilmiah yang kaku.
Corak tasawuf Komaruddin, sebagaimana dituturkan oleh Dawam, adalah tasawuf yang digandengkan dengan gagasan transformasi sosial sebagaimana juga menjadi concern dari cendekiawan seperti Moeslim Abdurrahman dan Kuntowijoyo.
Keadaan umat islam Saat ini
Umat Islam, kata Komaruddin, tidak mampu membangun institusi riset yang independen, yang mengabdi pada pengembangan ilmu terapan. Kuatnya peradaban teks dan kekuasaan ulama-umara, yang lebih mementingkan ritual dan kekuasaan politik ketimbang membangun peradaban, telah menyia-nyiakan aset intelektual yang dimiliki dunia Islam. Seperti kata Toby E Huff yang secara karikatural menunjukkan ketidakmampuan dunia Islam memanfaatkan aset intelektualnya, di mana kompas hanya dipergunakan untuk menunjukkan kiblat, sementara oleh orang Eropa dipakai untuk bisa berkeliling dunia. Ilmu astronomi hanya dipakai untuk menentukan kapan datangnya bulan Ramadhan, sementara di Eropa dijadikan modal petualangan angkasa. Lalu dinamit oleh dunia Islam digunakan untuk berperang menghancurkan musuh, di Eropa dijadikan tenaga untuk menggerakkan industri berat dan kapal besar.
Kitab suci al-Quran, menurut Komaruddin, seharusnya menjadi sumber pencerahan yang tak pernah kering bagi umat Islam. Namun, itu harus disertai iklim kebebasan berekspresi dan bereksperimentasi dengan dukungan institusi yang profesional dan dana yang cukup. Di tengah krisis multidimensi, bangsa Indonesia mempunyai kesempatan untuk melakukan rekonstruksi ulang guna menemukan format Indonesia baru. Bagi umat Islam, kesempatan ini merupakan panggilan sejarah untuk memberikan kontribusi bagi bangsa dan peradaban dunia untuk membangun sebuah model negara demokrasi yang dimotivasi oleh komitmen keislaman. Umat Islam yang merupakan mayoritas di negeri ini harus paling merasa terpanggil memperjuangkan kesejahteraan, keadilan, dan demokrasi. Bukannya malah kembali ke alam pikiran mitologis dan komunalistik.
Pengamat Urban Sufism
Dalam diskursus kesufian, khususnya yang berkembang di perkotaan, tak jarang Komaruddin menempatkan dirinya sebagai pengamat, kalau bukan kritikus. Ia, misalnya, pernah menyindir gejala pengajian di kota-kota besar yang diklaim sebagai gejala tasawuf padahal sebenarnya menurut dia hanya pengajian biasa saja. Di pengajian semacam itu yang diajarkan adalah tauhid Islam, praktek ibadah seperti shalat, puasa, haji, zakat, dan persoalan-persoalan elementer yang memang dibutuhkan oleh orang-orang kaya di kota besar yang sangat buta terhadap agama Islam. Lalu para pengamat menyebut fenomena semacam itu sebagai urban sufism. Padahal menurutnya Tasawuf terlalu tinggi untuk mereka yang masih belum tahu bagaimana berwudhu dengan benar yang tertulis dalam Kata Pengantar untuk buku karya Sudirman Tebba yang berjudul Hidup Bahagia Cara Sufi terbitan kerjasama Paramadina dan Gugus Lintas Wacana.
Dalam Kata Pengantar itu pria yang pernah menjadi Fellow Researcher di McGill University, Montreal, Canada pada 1995 ini memang menempatkan dirinya sebagai pengamat urban sufism. Lahirnya kelompok-kelompok tarekat di kota besar seperti Jakarta saat ini, lalu munculnya fenomena zikir akbar ala Muhammad Arifin Ilham atau Ustadz Haryono, serta laris manisnya buku-buku bertema tasawuf dalam beberapa tahun terakhir, bagi Komaruddin belumlah cukup dikategorikan sebagai urban sufism. Itu menurutnya adalah semangat jatuh cinta pada agama.
Bagi Komaruddin, tasawuf mengajarkan kita untuk tidak perlu ngoyo dalam mengejar hidup yang serba sementara ini. Bersyukur dan merasa qana’ah dengan apa yang diberikan oleh Allah, katanya, menjadikan hidup ini lebih rileks dan nyaman. Jauh dari stress, cemas, dan penyakit-penyakit hati lainnya. Dan bersyukur, katanya lagi, bukan hanya kepada Tuhan tetapi juga kepada sesama manusia, lebih-lebih kepada mereka yang pernah berjasa kepada kita.[7].
Buku-buku karya Komaruddin Hidayat
1. Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial
Dalam buku ini ia menulis bahwa prediksi para ilmuwan Barat yang menyatakan bahwa agama formal (organized religion) akan lenyap, atau setidaknya akan menjadi urusan pribadi, ketika iptek dan filsafat semakin berkembang, ternyata tidak terbukti. Sebaliknya, dewasa ini sedang terjadi proses artikulasi peran agama (formal) dalam berbagai jalur sosial, politik, budaya, ekonomi, bahkan dalam teknologi.
Tapi Ia merasa bingung dengan ekspresi dan artikulasi peran agama tersebut justru melahirkan suasana mencekam, tidak ramah dan selalu mengundang konflik dan permusuhan.Agama formal akan tetap ada dan selalu dibutuhkan oleh manusia, tetapi ekspresi dan artikulasi perannya seperti terjadi dewasa ini bukanlah ekspresi dan artikulasi perannya yang terjadi. Agama pada hakikatnya mengandung ajaran yang menawarkan jalan kesucian, keselamatan dan perdamaian serta kebajikan bagi manusia. Agama diturunkan sebagai salah satu bukti dari kasih sayang Tuhan untuk manusia, agar manusia memiliki petunjuk untuk menempuh jalan yang lurus, yang penuh keadilan, keharmonisan, dan kesejahteraan.
Agama formal sebagai suatu pilihan pada "jalan" keselamatan umat manusia, juga hendaknya selalu ditarik dan dihubungkan dengan kebajikan dan kemuliaan badi (perennial wisdom) tersebut, dan tidak malah terdistorsi dan tertutupi oleh gerakan pseudo agama.Bicara tentang prinsip-pinsip yang menjadi "kalimantun sawa" (ajaran yang sama) bagi agama-agama yang seolah-olah hanya berkisar pada ramah dunia ilangiti, buku ini juga menampilkan kekuatan pengubah ekspresi dan artikulasi peran agama yang sering bertolak-belakang dengan tujuan hakiki agama itu sendiri[8].
2. Psikologi Kematian, mengubah ketakutan menjadi optimisme
Ia berpendapat bahwa rasa takut itu berakar pada keinginan laten untuk selalu hidup nyaman, dan rasa takut itu kemudian menjalar kepada bebagai wilayah aktifitas manusia. Lebih jauh lagi, rasa takut itu kemudian melahirkan anak-pinak, yaitu takut akan bayang-bayang ketakutan itu sendiri sehingga muncul ungkapan, musuh terbesar dan terdekat kita adalah rasa takut itu sendiri yang berakar kuat dalam diri. Esenseinya ialah sikap penolakan akan kematian karena kematian itu selalu diidentikkan dengan tragedi, sakit, ketidak berdayaan, kehilangan dan kebangkrutan hidup.
Komaruddin Hidayat sendiri juga menulis dalam pengantarnya, membahas soal kematian bisa menimbulkan pemberontakan yang menyimpan kepedihan dalam setiap jiwa manusia.
¼ tentang kematian, ¾ tentang kehidupan. Begitulah, psikologi kematian tentu dapat juga dibaca sebagai psikologi kehidupan. Sesuai juga dengan pandangan Gede Prama, yang juga memberikan komentar di bagian depan buku ini, “Kematian bukannya lawan kehidupan. Ia adalah mitra makna kehidupan. Hanya dengan menyelami kematian, manusia bisa hidup dengan indah sekaligus mati dengan indah”[9].
3. Manuver Politik Ulama: Tafsir Kepemimpinan Islam dan Dialektika Ulama? Negara
Dalam buku ini ia menulis bahwa baik pada tingkat gagasan maupun praksis, kekuatan Islam di lndonesia hari-hari terakhir ini sedang berjalan memasuki lorong-lorong politik yang licin dan penuh jebakan. Dari pemilu ke pemilu, drama Islam politik terulang tanpa bisa dielakkan, tanpa bisa menghindari dahsyatnya godaan dan kutukan kekuasaan. Dari rezim ke rezim, pertarungan atas nama Islam berputar tanpa skenario baru, tanpa pemain debutan yang brilian, tanpa kejayaan yang elegan.
Para ulama dan kiai yang sebelumnya konsisten dan sibuk mengurus "dalam negeri" pesantren dan umat tiba-tiba menjadi selebriti politik. Ormas Islam, ulama, dan kiai banyak yang tergoda ikut merebut posisi, diperebutkan, bahkan terkadang tampak terseret untuk memasuki gelanggang pertarungan politik yang lebih luas. Mereka berpolitik dan men-cemplungkan diri dalam dunia yang penuh manuver dan intrik.
Menggali kembali ide dan wawasan bagaimana posisi Islam dan apa peran negara, buku ini berangkat untuk mengeksplorasi tiga varian penting. Pertama, makna agama dan bagaimana posisi ulama. Kedua, mempertanyakan secara kritis peran umat. Ketiga, menawarkan reposisi makna dan fungsi negara-bangsa.
Buku ini akan memberi penyadaran dan pandangan kritis atas fenomena manuver politik ulama yang tak pernah berhenti hingga akhir 2004[10].
(Tulisan ini jauh dari sempurna karena merupakan komparasi dari berbagai artikel dari situs lain)


[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Komaruddin_Hidayat
[2] http://paramadina.wordpress.com/2007/03/10/prof-dr-komaruddin-hidayat
[3] Op. cit
[4]http://pedomannews.com/tokoh-a-wawancara/berita-tokoh-a-wawancara/sosok/2284-komaruddin-hidayat-ada-segelintir-orang-yang-menjadikan-agama-sebagai-sumber-konflik
[5] Op. cit
[6] http://www.mail-archive.com/estika@yahoogroups.com/msg01597.html
[7] http://paramadina.wordpress.com/2007/03/10/prof-dr-komaruddin-hidayat/
[8] http://www.bukabuku.com/browse/bookdetail/21737/agama-masa-depan-perspektif-filsafat-perennial.html
[9] http://syairsyiar.blogspot.com/2008/06/komaruddin-hidayat-psikologi-kematian.html
[10] http://www.bukabuku.com/browse/bookdetail/8093/manuver-politik-ulama-tafsir-kepemimpinan-islam-dan-dialektika-ulama-negara.html