Pages

Sabtu, 18 Juni 2011

Fight Togheter

Fight Togheter - OP 14 One piece + English Translation
by: Namie Amuro

Yoka akeru mae ni tabidatou

mada minu ashita wo mukae ni ikou

Sou kimeta koto ku ii wa nai

(oh I know what I’m supposed to do)


Donna shiren ga machi ukete youto

Takanaru kodou tomerare wa shinai

Mezasu basho wa tada hito

Fly to the light!


Tatakai no hate ni eta kizuna

Dareni mo kizutsukesase wa shinai

Nigiri shimetatte hirakeba

Soko ni chikara ga yadoru


Saa hajimeyou!

Atarashii sekai ga yondeiru

Hora mite kora

Ikutsu no umi hedatete itato shitemo

Itsudatte sasaeteiru

Osorezu ni mae e

Wasurenai de

We fight together


Kegashita koto wa nai

Ano hi miageta dokomademo takaku hiroi sora

Zuibun to tooku made kita

Sorezore no chikai wo mune ni

Mayoi nado nai seou mono ga aru


Hi ga nobori

Kanashimi sae hitoshiku terasu

Shinjiterunda

Itsuka hitotsu ni tsunagaru mirai wo

Issho ni mitsuke ni ikou

Kimi no kawari wa inai

Wasurenai de

We fight together


English Translation:


Let set sail before the break of dawn

to meet e yet unseen tomorrow

I’ve made up my mind, and I have no regret

(oh I know what I’m supposed to do)


No matter what trials wait for us along the way

Nothing can ever stop the pounding of our heart

There is but no one place we all aim for

(Fly to the light!)


The bonds get we gained at the end of he battle

I will not let anyone damage them

If we open our clenched first

We’ll find strength within them


So let get started

A brand of new world is calling for us

Look ahead

Even if countless seas stand between us

We’re always supporting each other

Let’s move on without any fears

Please don’t forget

We fight together


It hasn’t been trainted

The great, wide, distant sky that we looked up at on that day

We’ve come quite a long way

All carrying the vows we made within our hearts

We’re not afraid we’ve all got burdens we must carry


The sun rises

And it brightens everything. Even my sadness

I believe

In the future where we’ll come together as oneLets go find together

There’s nobody that can take our place

Please don’t forget

We fight together

Minggu, 12 Juni 2011

Warna-Warni Konsep Hukum Islam dan Negara


Penulis : Muhyar Fanani

Cetakan : I, 2008

Tebal : xxxiv + 422 halaman

Ukuran : 14 x 21 cm

Ketika membaca beberapa tulisan karya Dr. Muhyar Fanani, terutama yang bertema ushul fikih, pasti akan terasa nuansa Syahrur di dalamnya. Syahrur adalah pemikir ushul fikih kontemporer yang dikenal memiliki konsep pembaruan yang revolusiuner dan inovatif dibanding pemikir lainnya. Juga karena syahrur telah menghadirkan paradigma baru dalam pemikiran ushul fikih kontemporer. Latar belakang pendidikannya sebagai insinyur sipil, serta doktor di bidang mekanika tanah dan teknik bangunan tidak menyurutkanya untuk melakukan studi keIslaman. Pemikiran-pemikirannya yang lain dari yang lain pun mengakibatkan pro dan kontra. Walaupun begitu, Muhyar Fanani dalam hal ini bisa dikatakan salah satu penggemar Syahrur.

Indonesia adalah Negara yang mempunyai warga Negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar nomor satu di dunia. Tetapi walaupun begitu Negara ini adalah Negara multi kultural. Di dalamnya ada berbagai macam kelompok masyarakat dengan beragam suku, ras, budaya, agama, dan kebiasaan. Pada tatanan sebelumnya, umat Islam menjadikan ikatan keimanan sebagai faktor utama perekat sosial. Asumsi dasarnya adalah, masyarakat yang disatukan melalui ikatan iman relatif tidak akan menemui kesulitan untuk melaksanakan hukum bagi mereka, yaitu hukum Islam. Itu dikarenakan setiap anggota masyarakat memiliki tekad dan kesadaran yang sama. Sementara itu, dalam tatanan nagara-bangsa atau nation-state, yang di dalamnya tinggal berbagai masyarakat yang bukan hanya agama tetapi dalam hal sosio-kurtural dan keadaan masyarakatnya juga berbeda, ikatan sosial lebih didasarkan pada kesamaan sejarah, nasib, suku, dan kesatuan wilayah. Jadi, agama –termasuk hukumnya- tidak lagi menjadi faktor penentu bagi terwujudnya koheksi sosial. Lalu, bagaimana umat Islam dapat melaksanakan hukum Islam?

Dr. Muhyar Fanani hadir dengan Buku berjudul “Membumikan Hukum Langit”, mencoba manawarkan gagasan penerapan hukum Islam dalam suatu Negara-bangsa, yang dalam hal ini konteksnya adalah di Negara Indonesia. Muhyar fanani menghadirkan dua gagasan dalam memberi solusi penerapan pelaksanaan hukum Islam agar tidak bertentangan dengan konstitusi yang berlaku di Negara ini, sekaligus tidak menghilangkan ruh Islami. Gagasan itu adalah Nasionalisasi hukum Islam yang digagas oleh Abdullahi Ahmed an-Na’im dan Islamisasi Hukum Nasional yang ditawarkan Muhammad Syahrur.

Ahmed an- Na’im muncul dengan konsep Nasionalisasi hukum Islam. Baginya, hukum Islam harus direkontruksi total agar bisa selaras dengan modernitas, tentunya dengan tidak melepaskan keislaman hukum tersebut. An-na’im meneruskan pemikiran gurunya, Mahmoud Muhammad Taha yang berpendapat tentang terhapusnya ayat Madaniah oleh ayat Makiyyah.

Pada zaman nabi dahulu, setelah ayat-ayat madaniyah turun, ayat-ayat Makiyyah seolah tidak diperlukan lagi. Itu karena ayat-ayat Makiyyah belum bisa diterapakn pada masyarakat Arab pada saat itu. Dan telah dimaklumi bahwa ayat Makiyyah adalah ayat yang lebih universal dan abadi karena di dalamnya banyak ayat mutasyabih yang multi-tafsir sehingga apabila diterapkan pada saat ini, ayat-ayat Makiyyah bisa relevan dengan kondisi masyarakat abad ke-20 yang sangat beragam corak masyarakatnya. Dengan demikian jelaslah menurut Taha bahwa ayat Makiyyah adalah ayat sentral al-Qur’an. Ayat inilah yang akan mampu memberikan kebebasan yang sebenarnya dan kesamarataan yang sungguh-sungguh bagi semua umat manusia tanpa memandang perbedaan jenis kelamin, agama, dan keyakinan sehingga toleransi dapat di junjung tinggi oleh semua.

Alasan an-na’im menyetujui Taha akan pentingnya ayat Makkiyah dan perlu diabaikannya ayat-ayat Madaniyyah adalah bahwa: pertama, pesan Makah adalah pesan abadi dan fundamental yang menginginkan egalitarianism seluruh umat manusia. Karena pesan Makkah ini belum siap diterapkan oleh manusia pada abad ke-7 M, maka Allah menurunkan pesan Madinah yang lebih sesuai dengan kondisi zaman waktu itu. Kedua, aspek pesan Makkah adalah abadi. Haya saja karena alasan kondisi zaman, pesan yang abadi itu ditunda pelaksanaannya. Ketiga, pemberlakuan teori naskh lama itu tidak permanen. Karena kalau permanen, berarti umat manusia menolak sebagian dari agamanya yang sholih li kulli zaman wa makan.

Konsep ini sebenarnya konsep yang brilian, tetapi oleh sebagian orang hal itu dianggap utopia yang tidak bisa diwujudkan kapanpun dan dimanapun karena pada esensinya hukum Islam dan Nasional sangat berbeda dan sulit untuk menyatukannya.

Konsep kedua yang diusung Muhyar Fanani dalam buku ini adalah Islamisasi hukum Nasional oleh Muhammad Syahrur. Ada tiga kunci relevansi pemikiran Syahrur dalam masalah hukum: redevinisi dalam rangka positivasi, demokratisasi, dan vitalisasi aparat penegak hukum. Redefinisi syahrur merupakan upaya meluluskan usaha positivisasi hukum Islam dalam stuktur Negara-bangsa. Syahrur melihat, potivisasi tanpa redevinisi hanya akan melahirkan kegagalan. Langkah positivisasi dan demokratisasi merupakan langkah menjadikan hukum Nasional. Dua langkah ini adalah solusi Syahrur ketika hukum Islam disatukan dengan sistem hukum Negara-bangsa. Penyatuan harus berjalan dalam mekanisme demokrasi. Bila mekanisme demokrasi dijalankan dalam memproduksi hukum, dengan demikian proses positivisasi berjalan, maka vitalisasi aparat penegak hukum menemui jalan mulus. Aparat tak canggung dengan hukum Islam karena tidak ada dikotomi hukum Islam dan hukum Nasional. Hukum Islam dengan sendirinya adalah hukum Nasional, sedangkan hukum nasional selama tidak menyalahi hudud Allah merupakan hukum Islam, walaupun diproduksi oleh parlemen, manusia biasa.

Bagi Islam sendiri, pemikiran syahrur akan menjadikan hukum Islam lebih mantap dalam menerima realitas keindonesiaan. Pemikiran itu memberi manfaat tersendiri, diantaanya: pertama, menjadikan hukum Islam menerima hukum Nasional sebagai bagian darinya. Kedua, mengakhiri konflik tiga hukum di Indonesia, hukum islam, hukum Nasional, dan hukum adat. Ini terjadi Karena redevinisi syahrur tidak menbedakan ketiganya. Ketiga, membantu hukum Islam agar bisa menyesuaikan diri dengan asas kebangsaan dan keindonesian. Keempat, demokratisasi hukum Islam. Kelima, menjadikan hukum Islam lebih responsive dan aspiratif.

Selain dua pemikiran itu, hizbut Tahrir Indonesia (HTI) juga hadir mewarnai wacana baru. HTI adalah pihak yang membuka wacana baru bentuk Negara dengan mensosialisasikan sistem khilafah ke masyarakat. Diskusi sistem khilafah ini berkembang mulai dari kelompok-kelompok kecil hingga konferensi internasional. Diskusi semacam ini secara tidak langsung ingin mempertanyakan demokrasi, karena Negara-bangsa merupakan salah satu pilar dari demokrasi. Sebenarnya sebagian dari HTI sedikit mengandung kebenaran walaupun argumentasi yang meraka gunakan, baik yang normative maupu historis tergolong lemah. Walaupun begitu, konsep mereka sangat tidak relevan apabila di gunakan di Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan agama.

Pada akhirnya, dalam konteks Indonesia modern, mempertanyakan antara Islam dan demokrasi sudah tidak relevan lagi. Begitu pula mempertentangakan antara hukum Islam dan Nasional. Islamisasi hukum nasional dalam buku ini adalah menyusun hukum Nasional yang tidak bertentangan dengan akal sehat, realtas kebangsaan-keindonesiaan, serta hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an. Dengan demikian, selama hukum Nasional diproduksi secara demokratis dan isinya selaras dengan ketiga hal itu, maka tidak ada alasan untuk tidak menganggap bahwa hukum nasional adalah hukum yang Islami.

Resensi ini adalah tulisan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fikih.,

Mendemokrasikan Kampus

Mungkin sudah basi apabila sekarang membicarakan keputusan menteri (statuta) yang di keluarkan pada tahun 2008 yang lalu. Basi pula bagi IAIN walisongo semarang yang baru mensosialisasikan statuta tersebut kepada mahasiswa beberapa hari menjelang menjelang rangkaian pemilihan dekan (pildek) fakultas di lingkungan IAIN semarang,
Statuta yang dimaksud disini adalah statuta menteri agama nomor 38 pasal 24 dan 30. Di dalamnya ditetapkan bahwa mahasiswa sama sekali tidak bisa ikut campur dalam segala bentuk kebijakan yang dibuat oleh birokrat kampus. Juga tidak diperkenankan bagi mereka untuk masuk dalam keanggotaan senat institut. Padahal seharusnya hal itu bisa dilakukan agar mahasiswa mempunyai wakil yang akan ikut mengontrol segala kebijakan yang dikeluarkan para pemimpin mereka. Statuta ini secara tidak langsung telah mengurung kekritisan mahasiswa karena tindakan mereka di batasi.
Seperti diberitakan di harian suara merdeka (18/8) dan ideastudies.com, penerapan statuta nomor 38 tersebut untuk pertama kali di berlakukan oleh Fakultas Ushuluddin dengan adanya pildek. Dalam pildek tersebut mahasiswa bagai saksi bisu yang hanya bisa melihat dan mendengar . Acara itu memang sempat tertunda oleh adanya aksi demo dari dari Aliansi Pejuang Kedaulatan Mahasiswa (APKM) yang menuntut agar mahasiswa diikut sertakan dalam acara tersebut. Pada awalnya demo itu berhasil dan pildek memang diundur sampai ada kejelasan soal konflik Statuta tersebut dari pihak rektorat, tapi malam harinya, tanpa sepengetahuan mahasiswa para birokrat kampus melakukan pildek secara diam-diam yang akhirnya menetapkan Nasikhun Amin sebagai dekan baru fakultas ushuluddin periode 2010-2014.
indonesia Yang lebih Demokratis
Indonesia, setelah adanya pemilu presiden tahun 2004 telah bertransformasi menjadi negara yang lebih demokratis. Susilo bambang Yudoyono yang lebih terkenal dengan sebutan SBY adalah presiden pertama Indonesia yang dipilih secara demokratis. dalam setiap pemilu, semua elemen masyarakat dari Sabang sampai Merauke apabila telah memenuhi syarat-syarat untuk menjadi pemilih bisa menggunakan haknya untuk mencoblos para calon orang nomor satu di negara ini.
Tahun 2009 yang lalu, SBY kembali terpilih menjadi presidan setelah mendapatkan lebih dari 50% suara. Pemillu yang melibatkan semua elamen masyarakat seperti ini sangat baik karena rakyat bisa menentukan sendiri orang yang akan menjadi pemimpin mereka. Pemilihan presiden lewat wakil rakyat seperti yang dilakukan dulu tidak bisa mewakili semua aspirasi rakyat karena faktor kepentingan politik pasti lebih dominan.

Miniatur Negara
Sebuah institusi Perguruan Tinggi (PT) bagaikan miniatur sebuah negara. Disana ada rektor dan dekan yang diibaratkan sebagai presidan. Mahasiswa sebagai rakyat tentu saja akan menerima semua dampak atas semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemimpin mereka. Sebagai rakyat mereka punya hak untuk menyalurkan aspirasi dan mengkritisi semua kebijakan yang telah dikeluarkan. Tetapi karena adanya statuta nomor 38, hal itu tidak bisa dilakukan.
Statua 2008 bagai selotip yang membungkam mulut mahasiswa. Bukti yang riil tentang hal ini adalah tidak dilibatkannya mahasiswa dalam menentukan calon pemimpi mereka. ini membuktikan bahwa demokrasi belum meresap masuk ke semua lini di institusi yang ada di indonesia.
Dalam sejarahnya, mahasiswa telah menjadi salah satu kekuatan yang ikut menggerakkan reformasi. Sejak zaman kemerdekaan mahasiswa telah menunjukan taringnya dalam melakukan perubahan. terlebih ketika lengsernya presiden soeharto, mereka benar-benar menunjukan perannya sebagai agent of social change yang selalu bertindak apabila menemukan kesalahan dalam negeri ini.
Dalam UU no. 10 tahun tentang pemilu, pada bab IV pasal 19 di jelaskan bahwa setiap warga indonesia yang telah memenuhi syarat yang telah ditetapkan berhak mengikut pemilu, tetapi Statuta tersebut jelas bertentangan dengan apa yang selalu dikoar-koarkan menjelang pemilu. Sebuah keharusan bagi Kementrian Agama agar segera merevisi Statuta tersebut. Mahasiswa bukan boneka. Mahasiswa tidak bisa seenaknya dipermainkan tanpa bisa berbuat apa-apa. Mereka berhak ikut andil dalam mengatur kebijakan-kebijakan birokrat karena kebijakan-kebijakanitu pasti akan dirasakan oleh mereka.

Telah dimuat di Harian Semarang tahun lalu pada bulan Ramadhan 1431 H. Alhamdulillah.,