Pages

Jumat, 18 November 2011

Fakultas Buangan


Membaca judul diatas bagi sebagian orang mungkin bertanya-tanya apa itu fakultas buangan. Tapi apabila dikaitkan dengan perguruan tinggi (PT), beberapa orang yang pernah mengenyam pendidikan disitu, atau minimal pernah mendengar sekelumit cerita tentang fakultas tersebut pasti paham apa itu fakultas buangan.
Penulis mendapatkan istilah Fakultas Buangan dari omongan beberapa dosen dan beberapa teman yang "lolos" dari fakultas buangan. Fakultas buangan adalah istilah kasar yang disematkan untuk fakultas non-favorit. Penulis berasumsi bahwa di tiap perguruan tinggi pasti mempunyai fakultas buangan, walaupun alasan atas tidak lakunya fakultas tersebut mungkin berbeda. Tetapi kebanyakan alasan tidak lakunya fakultas buangan adalah karena lulusannya dirasa kurang memiliki prospek masa depan yang cerah.
Di IAIN Walisongo Semarang, tempat dimana penulis menimba ilmu, yang termasuk katagori fakultas buangan adalah Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Dakwah. Alasan kenapa fakultas tersebut non-favorit adalah alasan klasik, karena tidak memiliki lapangan pekerjaan yang luas. Fakultas tersebut kalah bersaing dengan Fakultas Tarbiyah yang mencetak para guru dan Fakultas Syari'ah yang menghasilkan hakim, ekonom, dan akuntan yang islami.
Sebenarnya bukan sekedar alasan sepele yaitu tidak ada lapangan pekerjaan luas yang membuat adanya fakultas buangan. Ada beberapa pertimbangan yang menjadikan seseorang berpikir ulang dalam menentukan fakultas pilihannya ketika akan memasuki perguruan tinggi.
Pertama adalah apa yang akan mereka pelajari. Adalah suatu keniscayaan bahwa seseorang pasti memilih fakultas yang memiliki prodi yang sesuai dengan bakat yang dimilikinya. Atau minimal prodi tersebut menawarkan fan (jenis) ilmu yang ingin ia pelajari. Di IAIN Walisongo sendiri juga terjadi hal semacam itu. Fakultas Tarbiyah yang merupakan fakultas pendidikan sangat laris manis menjadi pilihan utama calon mahasiswa. Begitu pula Fakultas Syari'ah yang didalamnya diajarkan berbagai teori hukum dan muamalah (hubungan antar manusia). Sedangkan jarang sekali ada orang yang bercita-cita menjadi da'i sehingga memilih fakultas Dakwah sebagai pilihan utamanya. Bahkan merupakan makhluk yang sangat langka apabila ada orang yang memilih Ushuluddin sebagai pilihan utamanya, melihat materi yang diajarkan disitu bisa dikatakan cukup berat. Hal itu dikarenakan materinya mencakup filsafat dan mata kulyah lain yang sebagian besar referensinya berbahasa arab, bahasa yang termasuk paling sulit dipahami dibandingkan bahasa lainnya.
Kedua adalah dikarenakan prospek ke depan lulusan fakultas tersebut kurang menjamin. Mengenai jaminan pekerjaan, sebenarnya tidak ada satupun fakultas yang bisa menjamin seseorang sukses berkarir di masa depan. Semisal pada Fakultas tarbiyah atau fakultas pendidikan lainnya yang merupakan fakultas yang paling banyak diminati oleh calon mahasiswa. Fakultas tersebut, apabila dihitung dari seluruh PT di Indonesia, menghasilkan puluhan ribu sarjana pendidikan tiap semesternya. Padahal kuota guru yang dibutuhkan hanya sekian ribu guru tiap tahunnya. Fakultas lain pun mengalami hal serupa. Lapangan pekerjaan yang sinkron dengan prodi yang mereka pelajari di PT hanya berjumlah tidak lebih dari 50% dari jumlah lulusan per-tahunnya. Hal itu menyebabkan beberapa orang perpendapat bahwa PT adalah perusahaan pencetak pengangguran. Kebanyakan sarjana dewasa ini malah tidak memiliki pekerjaan yang sinkron dengan titel sarjana yang mereka punya. Seperti Andi F. Noya. Ia adalah wakil pemimpin umum salah satu media cetak di Indonesia, sangat jauh dengan pendidikannya karena ia adalah lulusan salah satu STM di Jakarta, sebelum memutuskan untuk banting setir dan mempelajaru jurnalistik di Sekolah Tinggi Publisistik (sekarang IISIP, Lenteng Agung).
Jadi masalah prospek ke depan seseorang tidak ditentukan dari apa yang mereka pelajari di bangku kulyah, tetapi ditentukan oleh seberapa besar seseorang membuat sekaligus memanfaatkan kesempatan yang kemunculannya ibarat jelangkung, datang tak dijemput pulang tak diantar, yang berarti sering muncul secara tiba-tiba tapi juga sangat cepat hilangnya.
Ketiga adalah adanya mitos yang masih menghantui masyarakat. Banyak diantara mereka yang pemikirannya masih "terjajah". Pada zaman penjajahan silam, kaum pribumi yang ingin hidupnya terjamin harus menjadi bolo kompeni. Kehidupan mereka akan terjamin karena mereka mendapatkan gaji tetap tiap bulannya serta mendapatkan berbagai tunjangan. Hal ini terefleksikan sampai masa sekarang sehingga beberapa orang berpendapat bahwa menjadi bolo pemerintah yang berkuasa pada saat ini (baca: PNS) adalah sebuah kesuksesan yang tiada bandingnya karena merasa aman dengan gaji tetap dan tunjangan yang mereka dapatkan. Karena hal itulah beberapa fakultas pun terkena imbasnya karena "jaminan" menjadi PNS di fakultas kecil seperti Ushuluddin (baca: Theologi) lebih kecil dibanding Fakultas favorit seperti pendidikan dan hukum.
Apalagi ada mitos lain yang mencengkeram erat Fakultas Theologi, nama lain Fakultas Ushuluddin. Banyak masyarakat yang berasumsi bahwa fakultas tersebut berbahaya. Hal itu dikarenakan mata kulyah yang pasti dipelajari dalam Theologi adalah filsafat. Mereka takut apabila seseorang tidak kuat dengan hal itu, bisa menyebabkan sakit jiwa seperti yang dialami beberapa orang. Padahal banyak lulusan fakultas Theologi yang sukses dan tidak terjerat dalam "mitos gila" tersebut. Walaupun sekarang "mitos gila" tersebut juga mulai terkikis karena pihak birokrat kampus mempunyai strategi khusus dalam mempromosikan fakultas yang mempelajari masalah ketuhanan tersebut.
Sebenarnya sangat out of date berbicara tentang "fakultas buangan". Lagipula bagaimanapun terbuangnya fakultas buangan, tidak ada yang bisa membuatnya mati. Hal ini dikarenakan sudah banyak orang yang mengerti, bahwa bangku perkulyahan bukan suatu tujuan. Saat ini sedikit sekali yang beranggapan bahwa masuk PT dan fakultas favorit merupakan kesuksesan absolut. Mereka sadar bahwa bangku perkulyahan adalah salah satu dari sekian banyak sarana. Sarana tersebut apabila dijalankan dengan sungguh-sungguh dan sebaik mungkin, seseorang pasti dapat bertahan di kehidupan yang sebenarnya, yang akhirnya bisa meraih kesuksesan hakiki.