Pages

Selasa, 27 Desember 2011

Re-Orientasi Tugas Mahasiswa

Agent of social change, tiap mahasiswa pasti sangat familiar dengan sebutan itu. “Agen perubahan sosial”, itulah tugas utama yang diemban siswa yang telah menjadi maha, atau lebih tepatnya tugas yang disematkan secara paksa oleh para aktifis pergerakan, terutama dalam acara orientasi pengenalan akademik dan kemahasiswaan yang diperuntukkan mahasiswa baru. Entah sadar atau tidak, doktrin itu telah tertancap di lubuk hati para mahasiswa.
Kalau yang dimaksud dengan agen perubahan sosial di sini adalah tindakan yang bisa dirasakan oleh masyarakat pada umumnya, faktanya mahasiswa memang pernah mempunyai kekuatan untuk melakukan hal tersebut. Kekuatan yang sanggup menggulingkan pemerintahan mantan presiden Soeharto 1997 silam. Tapi titel agent of social change untuk mahasiswa sebenarnya terlalu dibesar-besarkan. Titel itu seolah-olah menjustifikasi bahwa mahasiswa lah satu-satunya agen perubahan. Kalau penggulingan soeharto dijadikan bukti konkrit kekuatan mahasiswa dalam melakukan hal tersebut, tetapi fakta pula yang menunjukkan setelah peristiwa itu tak pernah ada lagi aksi mahasiswa yang bisa dibilang memberikan dampak yang besar.
Sebelum menjadi mahasiswa, tiap mendengar kata mahasiswa hanya ada satu pikiran yang terlintas di benak penulis: tukang demo. Itu memang fakta dan memang tidak bisa dipungkiri bahwa mahasiswa, terutama mahasiswa pergerakan, sangat identik dengan demo. Setelah menjadi mahasiswa penulis lebih tahu bahwa ternyata hanya segelintir orang saja yang suka demo dan rata-rata mereka merupakan mahasiswa pergerakan. Mereka merasa memiliki misi suci yang ingin mereka wujudkan demi Indonesia yang lebih baik.
Tetapi berbagai demo yang mereka lakukan, yang dimaksudkan ingin membela rakyat kecil, terkadang tanpa mereka sadari juga menyusahkan kaum yang mereka bela. Almarhum Sondang Hutagulung, aktivis luar biasa yang meninggal karena membakar diri di depan istana presiden pun tidak luput dari kritik semasa hidupnya. Ia pernah diingatkan oleh Pirto Hutagulung, ayahnya sendiri yang bekerja sebagai sopir angkot bahwa demo yang dilakukannya mengganggu ketertiban lalu lintas dan itu sangat berdampak pada penghasilan sopir angkot. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan sosial yang ingin mereka capai juga mempunyai dampak buruk terhadap sebagian kalangan. Kalau pun mereka beralasan setiap perjuangan membutuhkan pengorbanan, tetapi demo bukan satu-satunya jalan dalam melakukan perubahan sosial. Apabila terpaksa melakukan demo, harus dipikirkan cara yang tidak mengganggu ketertiban umum.
Penulis berasumsi bahwa demo yang mereka lakukan merupakan imbas dari aksi mahasiswa pada waktu reformasi. Dampak luar biasa dari peristiwa itu seperti dalil kuat yang mendorong aksi demo para mahasiswa. Padahal sebetulnya demo tahun 1997 dulu bukan sekedar demo. Demo itu merupakan puncak dari usaha mahasiswa yang bersatu untuk melawan pemerintahan yang tirani. Dalam arti demo itu bisa melahirkan perubahan sosial yang besar karena telah menghabiskan waktu yang panjang dan tujuan (musuh:red) mereka jelas. Setelah peristiwa itu Agent of Social Change menjadi populer dan disematkan secara khusus kepada mahasiswa.
Beberapa hal itu merupakan sekian dari dampak doktrinasi agent of social change. Titel yang dikhususkan kepada mahasiswa itu sebaiknya dihilangkan. Toh nyatanya para pejabat yang melakukan korupsi dulunya juga mahasiswa. Berita di berbagai surat kabar tentang PNS muda yang memiliki rekening gendut, dulunya juga mahasiswa. Hal ini bisa dikatakan lucu bahwa para koruptor merupakan hasil dari mahasiswa yang notebene merupakan agen perubahan sosial. Mungkin karena doktrin yang mereka pahami bahwa mahasiswa merupakan agen perubahan sosial, sehingga mereka yang sudah bukan mahasiswa sudah tidak mempunyai kewajiban untuk melakukan hal tersebut. Padahal sebenarnya bukan hanya mahasiswa yang mempunyai tanggungan itu.
Iklan bertema Agen Perubahan Sosial merupakan tugas bersama harus digaungkan. Tugas melakukan perubahan sosial terlalu berat untuk diemban mahasiswa. Itu bukan dikarenakan mahasiswa saat ini lebih lemah dari sebelumnya. Hal itu bertujuan untuk menyadarkan masyarakat bahwa melakukan perubahan sosial bukan semata tugas mahasiswa, tetapi tugas setiap elemen masyarakat. Hal itu harus dilakukan apabila ingin menciptakan indonesia yang lebih baik.

(Tulisan ini pernah dimuat dalam buletin El-Fikry edisi ke-4 Desember 2011 yang diterbitkan oleh PMII Rayon Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kritik yang membangun: