Agent of social change, tiap mahasiswa pasti sangat familiar dengan sebutan itu. “Agen perubahan sosial”,
itulah tugas utama yang diemban siswa yang telah menjadi maha, atau
lebih tepatnya tugas yang disematkan secara paksa oleh para aktifis
pergerakan, terutama dalam acara orientasi pengenalan akademik dan
kemahasiswaan yang diperuntukkan mahasiswa baru. Entah sadar atau tidak,
doktrin itu telah tertancap di lubuk hati para mahasiswa.
Kalau
yang dimaksud dengan agen perubahan sosial di sini adalah tindakan yang
bisa dirasakan oleh masyarakat pada umumnya, faktanya mahasiswa memang
pernah mempunyai kekuatan untuk melakukan hal tersebut. Kekuatan yang
sanggup menggulingkan pemerintahan mantan presiden Soeharto 1997 silam.
Tapi titel agent of social change untuk mahasiswa sebenarnya terlalu dibesar-besarkan. Titel
itu seolah-olah menjustifikasi bahwa mahasiswa lah satu-satunya agen
perubahan. Kalau penggulingan soeharto dijadikan bukti konkrit kekuatan
mahasiswa dalam melakukan hal tersebut, tetapi fakta pula yang
menunjukkan setelah peristiwa itu tak pernah ada lagi aksi mahasiswa
yang
bisa dibilang memberikan dampak yang besar.
Sebelum
menjadi mahasiswa, tiap mendengar kata mahasiswa hanya ada satu pikiran
yang terlintas di benak penulis: tukang demo. Itu memang fakta dan
memang tidak bisa dipungkiri bahwa mahasiswa, terutama mahasiswa
pergerakan, sangat identik dengan demo. Setelah menjadi mahasiswa penulis lebih tahu bahwa
ternyata hanya segelintir orang saja yang suka demo dan rata-rata
mereka merupakan mahasiswa pergerakan. Mereka merasa memiliki misi suci
yang ingin mereka wujudkan demi Indonesia yang lebih baik.
Tetapi
berbagai demo yang mereka lakukan, yang dimaksudkan ingin membela
rakyat kecil, terkadang tanpa mereka sadari juga menyusahkan kaum yang
mereka bela. Almarhum Sondang Hutagulung, aktivis luar biasa yang
meninggal karena membakar diri di depan istana presiden pun tidak luput
dari kritik semasa hidupnya. Ia pernah diingatkan oleh Pirto Hutagulung,
ayahnya sendiri yang bekerja sebagai sopir angkot bahwa demo yang
dilakukannya mengganggu ketertiban lalu lintas dan itu sangat berdampak
pada penghasilan sopir angkot. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan sosial
yang ingin mereka capai juga mempunyai dampak buruk terhadap sebagian
kalangan. Kalau pun mereka beralasan setiap perjuangan membutuhkan
pengorbanan, tetapi demo bukan satu-satunya jalan dalam melakukan
perubahan sosial. Apabila terpaksa melakukan demo, harus dipikirkan cara
yang tidak mengganggu ketertiban umum.
Penulis
berasumsi bahwa demo yang mereka lakukan merupakan imbas dari aksi
mahasiswa pada waktu reformasi. Dampak luar biasa dari peristiwa itu
seperti dalil kuat yang mendorong aksi demo para mahasiswa. Padahal
sebetulnya demo tahun 1997 dulu bukan sekedar demo. Demo itu merupakan
puncak dari usaha mahasiswa yang bersatu untuk melawan pemerintahan yang
tirani. Dalam arti demo itu bisa melahirkan perubahan sosial yang besar
karena telah menghabiskan waktu yang panjang dan tujuan (musuh:red)
mereka jelas. Setelah peristiwa itu Agent of Social Change menjadi populer dan disematkan secara khusus kepada mahasiswa.
Beberapa hal itu merupakan sekian dari dampak doktrinasi agent of social change.
Titel yang dikhususkan kepada mahasiswa itu sebaiknya dihilangkan. Toh
nyatanya para pejabat yang melakukan korupsi dulunya juga mahasiswa.
Berita di berbagai surat kabar tentang PNS muda yang memiliki rekening
gendut, dulunya juga mahasiswa. Hal ini bisa dikatakan lucu bahwa para
koruptor merupakan hasil dari mahasiswa yang notebene merupakan agen
perubahan sosial. Mungkin karena doktrin yang mereka pahami bahwa
mahasiswa merupakan agen perubahan sosial, sehingga mereka yang sudah
bukan mahasiswa sudah tidak mempunyai kewajiban untuk melakukan hal
tersebut. Padahal sebenarnya bukan hanya mahasiswa yang mempunyai
tanggungan itu.
Iklan bertema Agen Perubahan Sosial merupakan tugas bersama harus digaungkan. Tugas melakukan perubahan sosial terlalu
berat untuk diemban mahasiswa. Itu bukan dikarenakan mahasiswa saat ini
lebih lemah dari sebelumnya. Hal itu bertujuan untuk menyadarkan
masyarakat bahwa melakukan perubahan sosial bukan semata tugas
mahasiswa, tetapi tugas setiap elemen masyarakat. Hal itu harus
dilakukan apabila ingin menciptakan indonesia yang lebih baik.
(Tulisan ini pernah dimuat dalam buletin El-Fikry edisi ke-4 Desember 2011 yang diterbitkan oleh PMII Rayon Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kritik yang membangun: