Ajaran Ahmadiyah, salah satu firqoh dalam Islam, sampai saat ini masih menjadi “musuh” bagi kebanyakan Organisasi Kemasyarakatan (ormas) Islam di Indonesia. Sejak pertama kali kemunculan firqoh (kelompok) tersebut pada tahun 1898 ajaran tersebut sudah bisa dikatakan “nyleneh”. Hal itu jelas dikarenakan mereka yang mengklaim mempunyai nabi baru bernama nama Mirza Ghulam Ahmad. Hal yang diresahkan umat islam adalah karena mereka juga menyatakan diri mereka bagian dari Islam. Dan bahwa ajaran yang telah umum dalam Islam yang menyatakan bahwa nabi Muhammad merupakan nabi terakhir dan penutup para nabi, seakan di nasikh (di hapus) oleh kedatangan Mirza Ghulam Ahmad yang membawa risalah baru bernama Tadzkirah.
Ahmadiyah sendiri mulai masuk Indonesia sejak adanya tiga orang asal Sumatra yang bernama Abu Bakar Ayyub, Ahmad Nuruddin, dan Zaini Dahlan yang atas perintah guru mereka memutuskan untuk belajar lebih dalam tentang Islam di India, yang saat itu sudah memulai ajaran islam yang lebih “modern”. Sampailah mereka di pusat Ahmadiyah yang berada di desa Qadian. Karena merasa cocok dengan ajaran Ahmadiyah tersebut, mereka pun akhirnya di baiat dan mengajak rekan-rekan dari Sumatra untuk menuntut ilmu disana. Pada tahun 1925 Khalifatul Masih II, pemimpin Ahmadiyah pada saat itu, atas permintaan beberapa muridnya mengirimkan wakilnya yang bernama Maulana Rahmat Ali HAOT untuk menjadi mubaligh di Indonesia. Pada akhirnya tahun 1926 jamaah ahmadiyah mulai resmi menjadi organisasi di Indonesia.
Tetapi karena ajaran mereka yang sangat berbeda dengan ajaran Islam kebanyakan, terutama ajaran ekstrim mereka tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad, Rabithah ‘Alam Islami, organisasi Islam internasional yang berdiri di Makkah mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah adalah non-Islam pada tahun 1974. MUI pun ikut mengeluarkan fatwa sesatnya ahmadiyah. Hal itu menjadikan para pengikut jamaah tersebut mendadak mempunyai banyak “musuh”
Akhirnya kontra fisik antara jamaah ahmadiyah dan non-ahmadiyah pun kerap terjadi. Yang terakhir adalah peristiwa bentrok di Pandeglang Banten awal Februari silam yang menewaskan tiga jemaat Ahmadiyah dan terlukanya belasan jemaat yang lain.
Sebenarnya peristiwa tersebut tidak perlu terjadi. Adanya bentrok antara Ahmadiyah dan non-Ahmadiyah terjadi karena kurang fahamnya umat islam, di Indonesia khusunya, tentang eksistensi Ahmadiyah itu sendiri. Hal yang mutlak harus diketahui sebelum memutuskan sesuatu itu benar atau salah adalah mengetahui sesuatu tersebut dari sudut pandang sesutau tersebut yang dalam hal ini adalah Ahmadiyah itu sendiri.
Pihak MUI pasti sudah mengetahui tentang Ahmadiyah yang pecah menjadi dua bagian, Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah Lahore. Ahmadiyah qadian (di Indonesia disebut Jamaah Ahmadiyah Indonesia) adalah Ahmadiyah yang ajaran utamanya diketahui orang kebanyakan, yaitu ajaran bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi setelah Muhammad. Sedangkan Ahmadiyah Lahore (di Indonesia disebut Gerakan Ahmadiyah Indonesia) tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, tetapi hanya sekedar mujaddid karena bagi mereka Muhammad tetap nabi yang terakhir.
Entah apa yang menjadi motivasi MUI sehingga memfatwakan kesesatan kedua varian firqoh tersebut. Kalau sandaran mereka adalah karena Ahmadiyah tidak mengakui Muhammad sebagai nabi terakhir, sudah jelas sekali kalau Ahmadiyah Lahore tidak masuk dalam katagori tersebut. Mereka tetap mengakui eksistensi Muhammad sebagai nabi terakhir. Kedudukan Mirza Ghulam Ahmad di mata Ahmadiyah Lahore mungkin seperti kedudukan Syeikh Abdul Qadir Jaelani di mata Islam sunni Indonesia (baca: NU). Penulis malah sering menemukan praktek “berlebihan” dalam upaya Islam Sunni Indonesia menghoramati Sulthanu al-Auliya’ melebihi penghormatan mereka terhadap pembawa risalah Islam, Muhammad. Hal itu bisa dilihat ketika mereka mauludan atau dziba’an (acara pembacaan al-Barjanji, kitab yang memuat sejarah Muhammad) dan Manaqiban (acara pembacaan kitab yang memuat sejarah Abdul Qadir). Ketika membaca al-Barjanji jarang sekali penulis menemui suatu jamaah yang membacanya sampai khatam dalam satu majlis. Mereka selalu meloncat-loncat per bab dalam membaca sehingga acara mauludan bisa cepat selesai. Setelah itu mereka mengadakan jamuan dengan hidangan ala kadarnya.
Berbeda ketika melakukan Manaqiban. Mereka tak pernah sekalipun melakukan Manaqiban kecuali menghatamkan kitab sejarah tersebut. Setelah acara selesai pun mereka melaksanakan jamuan makan yang penulis kira “berharga lebih” dari hidangan dalam acara Mauludan. Bahkan ada beberapa yang “mewajibkan” adanya masakan ayam kampung dalam setiap acara Manaqiban karena itu adalah masakan kesukaan Abdul Qadir. Kalau mereka mau instropeksi diri, sebenarnya mereka sama dengan jamaah Ahmadiyah Lahore dalam hal kekaguman mereka terhadap tokoh selain Muhammad. Jadi tidak laiknya mereka menganggap Ahmadiyah Lahore sebagai kelompok sesat.
Adapun Ahmadiah Qodian, memang mereka mempunyai nabi dan kitab sendiri. Jadi penulis berasumsi bahwa Ahmadiyah Qadian memang bukan bagian dari Islam. Mereka adalah agama independen yang mempunyai ajaran yang berbeda dengan islam. Dalam hal ini penulis melihat kedudukan Ahmadiyah Qadian sama dengan posisi Islam di awal masa kenabian dulu. Islam adalah agama penyempurna agama samawi yang dibawa oleh nabi sebelumnya. Muhammad yang datang dengan al-Qur’an sebagai risalah baru tetap mengakui eksistensi Nabi-Nabi sebelumnya.
Begitu juga dengan Ahmadiyah Qadian. Mereka bisa dikatakan agama baru karena Mirza Ghulam Ahmad datang dengan Tadzkirah-nya. Dia tetap mengakui adanya Muhammad sebagai nabi, hanya saja bukan sebagai nabi terakhir. Jadi bisa dikatakan kedudukan Ahmadiyah sama dengan kedudukan Islam dalam hal “penyempurnaan terhadap agama sebelumnya”.
Terlepas dari agama mana yang benar dan mana yang salah, sebenarnya semuanya tidak ada yang salah. Yang salah adalah mereka yang mengaku beragama tetapi tidak mau menjalankan ajaran agama mereka dengan benar. Sebagai seorang yang mengaku muslim (karena penulis adalah seorang muslim) kita harus mau dan bisa menjalankan agama dengan benar, yang dalam konteks ini sesuai dengan al-Qur’an dan hadis.
Memang dalam al-Qur’an, tepatnya di surat Ali Imran ayat 19 diterangkan bahwa agama yang paling benar disisi Allah adalah Islam. Tetapi penulis lebih condong sepakat pada pendapat yang menyatakan bahwa Islam di ayat tersebut bukan Islam yang berarti agama yang dibawa Muhammad. Tetapi Islam disini adalah agama yang berserah diri, agama yang khanif, agama yang mengajarkan kebaikan. Karena menurut pribadi penulis, tidak ada agama yang mengajarkan keburukan. Keburukan itu tidak datang dari suatu ajaran agama tetapi dari penganut agama itu sendiri yang salah atau bahkan sengaja salah dalam memahami kitab pedoman mereka.
Pada akhirnya kewajiban bagi kita sebagai muslim adalah untuk melakukan Ukhuwah Islamiyah yang berarti bukan menjalin persaudaraan terhadap sesama Muslim (baca: umat Muhammad) tetapi menjalin tali persaudaraan yang islami, yang berdasarkan asas islam dan tentunya tidak ditujukan kepada Muslim semata. Tetapi juga kepada penganut agama lain. Karena misi datangnya islam adalah rahmatan li al-‘alamin, bukan rahmatan li al-mukminin faqot.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kritik yang membangun: