Oleh: Zuha Muhammad
Tak kusangka. Aku yang tak pernah lepas dari posisi tiga besar di tiap catur wulan semasa duduk di Madrasah Ibtida’iyah ini, bisa terpuruk di kelas yang sama selama dua tahun ketika duduk di kelas satu Madrasah Tsnawiyah. Itu terjadi pada tahun-tahun awal ketika merantau di penjara suci yang membuatku mendapat predikat santri. Hidup tak semudah yang kukira. Ternyata aku terlalu cepat lepas dari pengawasan Ayah dan Bunda. Aku terlalu dini untuk hidup mandiri.
Tak kusangka. Aku yang selama satu dekade dimanja oleh ketulusan Ibu dalam mengasih dan ketabahan Ayah dalam mendidik, kembali menumpahkan air tuba. Tepat di tahun keduaku duduk dalam bangku kelas yang sama, kelakuanku semakin menjadi-jadi. Sematan nakal sudah merupakan krama inggil untuk menyatakan perilakuku. Selalu keluar di malam hari, tak pernah berhenti tidur didalam kelas, kegiatan pondok yang selalu kutinggal, dan entah apa lagi yang telah kulakukan. Tinggal di kelas yang sama untuk ketiga kalinya hampir kualami, kalau tak ada syafaat yang datang.
Tak kusangka. Aku masih saja terlena dengan bujukan dan rayuannya. Sang keturunan iblis itu sangat pandai memainkan lidah. Entah apa yang dikatakannya waktu itu. Setoran masih lama lah. Lebih baik bersenang-senang saja lah. Aku yang sering jadi juara kelas lah. Dan entah apa lagi yang dilontarkannya. Tergiur oleh nikmatnya dunia yang dihembuskan, hafalan yang menjadi syarat kenaikan kelas pun tak kuhiraukan. Setelah hampir paruh tahun terkena rayuannya, aku sadar. Baru 70 bait nadhom yang kuhafal dari 600 bait yang menjadi syarat kenaikan kelas. Padahal sebelumnya, lebih dari dua tahun yang kubutuhkan untuk menyerap 500 bait yang menjadi syarat kenaikan di kelas satu.
Tak kusangaka. Rendah hati tak selalu berbuah manis. Kesempatan untuk bisa berorganisasi dari seorang teman tak ku gubris. Waktu itu aku berpikir bahwa ketika seorang ingin melakukan sesuatu, maka ia harus ahli di bidang yang ia jalani. Aku merasa tak mampu, walau sebenarnya hati ini ingin melakukannya. Pada akhirnya aku sadar bahwa aku masih dalam tahap pembelajaran. Karena itu tak apa kalau belum mampu karena tiap hal merupakan sebuah proses. Tapi apalah daya. Posisi itu sudah diisi oleh orang lain. Aku semakin sadar bahwa diri ini masih bukan apa-apa.
Tak kusangka. Sifat egois dan pragmatis selalu menyelimuti diri ini di masa silam. Aku tak rela mengeluarkan sedikit kocek untuk pembuatan majalah yang sebenarnya tak seberapa dibanding pengalaman yang akan kudapat. Aku juga tak rela melepas sedikit waktu yang sebenarnya sangat singkat dibanding panjangnya waktu di masa depan yang bisa kuringkas dengan jerih payah proses membangun kebersamaan di masa Aliyah. Aku saat itu terlalu takut untuk mencoba hal yang baru.
Tak kusangka. Kesalahan dalam pengambilan keputusan selalu kualami. Kegagalan hidup kudera bertubi-tubi. Hidup bagai tak berasa. Pergolakan hati telah membuat diri ini mati. Ditengah pesnitaan diri, aku teringat pesan Abah Yai.
“Kehidupan masa lalu memang bisa menyakiti. Dan tiap tindakan pasti butuh kemantapan hati. Kamu bisa memilih untuk lari, atau belajar dan mengambil intisari dari apa yang telah kau alami”
Lalu, aku pun mulai belajar bersyukur.
Aku bersyukur pernah mengalami pahitnya tinggal kelas. Aku menjadi tahu bahwa segala hal membutuhkan persiapan yang matang. Lebih-lebih persiapan mental. Karena hal itu bisa membuat kepala tetap tegak di tengah kegagalan.
Aku bersyukur pernah menjadi most wanted di pondok pesantren tempatku menimba ilmu. Hal itu membuatku sadar akan dahsyatnya usaha yang disertai doa. Penundaan batas setoran hafalan sampai dua bulan yang kuterima tak akan kudapat, kalau sedikit saja aku menyerah dalam berbagai usaha dan lobi yang gencar. Usaha yang kukira gagal, ternyata membuahkan hasil. Aku pun sadar kalau itu berkat doa yang saban hari kudendangkan bagi Sang Ilahi Rabbi.
Aku bersyukur pernah terlena kembali untuk kesekian kalinya. Dengan itu aku sadar dengan tingginya potensi manusia. Aku tak menyadari hal itu sebelumnya. Yang kulakukan hanya setiap hari menekuni hafalan tiap ada waktu senggang. Takjub kurasakan saat tahu bahwa aku berhasil menyelesaikan 600 bait dalam tenggang waktu kurang dari enam bulan. Padahal sebelumnya lebih dari dua tahun yang dibutuhkan untuk menyerap bait yang jumlahnya lebih sedikit. Kurasakan potensi yang diberikan Tuhan pasti akan terasa bagi orang yang fokus dan bersungguh-sungguh dalam menggunakannya.
Aku bersyukur pernah menolak ajakan berproses dari teman seperjuangan. Hal tersebut membuatku sadar bahwa kesempatan yang sama tak akan datang dua kali. Aku juga masih sangat labil ketika itu. Kalau saja aku meng-iyakan ajaknnya, mungkin sifat takabur-ku membuncah karena merasa sudah menjadi orang yang dibutuhkan. Kalau aku menerima ajakannya, mungkin aku tak akan sadar bahwa aku adalah orang terakhir yang ditemuinya dalam rangka membangun bersama organisasi yang kuat waktu itu.
Aku bersyukur, pernah berlaku sangat egois dan pragmatis. Hal itu membuatku sadar bahwa pengorbanan adalah bukan ketika seseorang bisa melakukan berbagai hal besar. Tetapi pengorbanan adalah ketika seseorang bisa melakukan hal kecil di tengah keterpurukan yang bisa menopang dan menjaga hal-hal besar. Aku juga menjadi sadar bahwa aku harus malu ketika enggan melakukan hal kecil karena gengsi. Tak ada orang yang langsung bisa menjadi besar dan luar biasa super. Karena sepotong baju pun sebelumnya tak lebih dari seutas benang tipis tak berarti, yang akhirnya bisa berguna dan bisa melindungi karena mau bersatu dan berbagi.
Aku bersyukur masih menyadari bahwa saat ini aku masih belum apa-apa dibanding yang lain. Aku sadar masih sering melakukan banyak kesalahan. Aku tak boleh menyerah dan gundah, karena aku masih diberi nikmat bisa bersyukur. Aku bersyukur masih bisa belajar. Dan aku pun bersyukur masih bisa bersyukur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kritik yang membangun: